Belakangan kembali menyeruak kabar tentang edaran dari Menteri Agama agar pengeras suara di masjid/musala tidak selalu dengan pengeras suara luar. Untuk tadarus, salat, selawatan, pakai pengeras suara dalam.
Apa bedanya pengeras suara luar dan pengeras suara dalam. Pengeras suara luar adalah suara bisa didengar oleh masyarakat umum. Ini diperbolehkan untuk suara azan. Kalau pengeras suara dalam adalah suara hanya didengar di dalam masjid atau musala.
Aturan dari Menteri Agama ini sebenarnya bukan hal yang baru. Sebab di tahun 1978 juga ada aturan serupa yang dikeluarkan Dirjen Kementerian Agama terkait. Hanya saja, realitasnya, aturan seperti itu memang tidak bisa berjalan.
Jika aturan sudah ada tahun 1978, buktinya masa kecil saya banyak surau yang memakai pengeras suara luar untuk selawatan sebelum salat. Bahkan di masa Ramadan, tadarus alquran juga memakai pengeras suara luar.
Kalau kata anak sekarang, vibes Ramadannya terasa jika ada tadarus pakai pengeras suara luar. Jadi, kalau setelah tarawih ada suara tadarus alquran dari masjid dan musala, maka itu adalah Ramadan.
Dan ritual pengeras suara luar itu berlangsung puluhan tahun, sekalipun ada aturan dari Kementerian Agama di tahun 70-an.
Saya sendiri mendapatkan pengetahuan atau hafalan selawatan juga karena sering dengar dari surau musala. Diperdengarkan pakai pengeras suara luar. Jadi sembari main, sembari dengar selawatan, akhirnya hafal.
Mengapa sekalipun sudah ada aturan, tetap saja pengeras suara luar berjalan di masa lalu? Ya menurutku karena memang tak ada masalah.
Apalagi ketika daerahnya Muslim semua. Lalu terbuka. Artinya jika ada yang "protes" karena ada yang sakit, maka pengeras suara luar dijadikan suara dalam.
Jadi di daerah yang memang sudah mengakar pakai pengeras suara luar, saya pikir masih berlangsung hingga sekarang. Itu adalah kebiasaan yang sulit diubah, apalagi memang tak ada masalah.