Cerita-cerita klenik di sekitarku pada masa lalu adalah hiasan hidup yang lalu lalang. Tapi, di masa kanak-kanak itu, aku sudah tak tertarik untuk melihat hal yang berbau klenik. Atau bisa juga aku malas bepergian jauh untuk melihat klenik-isme.
Aku lebih suka nongkrong di jembatan sehabis Maghrib, menunggu orang-orang yang kemarin malam datang ke klenik-isme. Mendengar mereka bercerita, aku kadang terpingkal.
Ada satu cerita di masa itu. Cerita di desa yang agak jauh dari tempat tinggalku. Cerita bahwa tiba-tiba ada orang menemukan ikan lele besar. Lele itu dipercaya bisa berdampak pada banyak orang. Kau tahu, lele itu ditaruh di kolam. Lalu air tempat kubangan lele itu dikonsumsi untuk kesehatan. Si empunya lele menarif mereka yang ambil air.
Tentu aku tak datang ke tempat itu. Aku tak tertarik, mungkin juga malas. Kenapa aku tahu cerita itu? Karena beberapa tetanggaku ada yang ke sana. Lalu drama di jembatan itulah yang aku tunggu. Drama orang-orang bercerita setelah mendatangi lele klenik itu.
"Kau tahu, aku lihat lelenya. Ketika aku melihatnya, lele itu balik melirik padaku. Lirikannya mirip manusia. Aku yakin itu lele jadi-jadian," kata seorang tetangga di jembatan itu.
Aku menahan tawa, tapi pecah juga. Bukan mistis yang aku rasakan, tapi lucu. Dan lucu itu mahal haha.
Ada satu klenik lagi, sebuah pohon besar yang dipotong tinggal setinggi 4 meter. Pohon sisa setinggi 4 meter itu dirobohkan (bukan dipotong, tapi dirobohkan). Â Aku lupa bagaimana merobohkan pohon itu. Tapi yang kutahu pohon itu dirobohkan. Namun, pohon itu kembali berdiri setelah dirobohkan. Tempat kejadiannya masih satu desa dengan rumahku, tapi ibaratnya jaraknya dengan rumahku, dari ujung ke ujung.
Cerita pohon itu menjalar ke mana-mana. Seperti biasa aku malas lihat seperti itu. Tak tertarik juga. Tapi satu siang, temanku mengajakku ke sana. Akhirnya aku ke sana. Melihat pohon yang kokoh berdiri sekalipun sempat dirobohkan.
Tentu saja yang melihat bukan hanya aku dan temanku. Beberapa orang dari beda desa datang melihat pohon itu. Ada satu yang nekat naik di ujung pohon sembari bersemedi. "Siapa tahu dapat wangsit nomor," katanya. Waktu itu masih ada SDSB. Yang tak tahu SDSB, bisa searching saja.
"Dulu di tempatku ada seperti ini. Pohonnya bukan hanya berdiri lagi. Tapi pohonnya kalau malam joget," kata orang lain yang kembali membuat aku tertawa kecil.
Jadi, mendengar komentar memang kadang lebih menarik daripada melihat objek yang dikomentari.
Setelah aku pulang dari melihat pohon yang kembali berdiri, aku bercerita pada bapakku. Bapakku bilang, bahwa itu terjadi karena akar yang berada di seberangnya sangat kuat. Sehingga, bisa membuat pohon yang roboh bisa berdiri lagi.
Jadi dalam beberapa momen, hidup itu seperti menunggu komentar. Kini pun kebiasaan menunggu komentar kadang terlintas. Kalau ada sesuatu yang sedang jadi pembicaraan dan diberitakan di media massa online, aku lebih sering membaca komentarnya daripada beritanya.
Sama halnya ketika melihat yang lagi on di media sosial. Yang sering aku lihat adalah komentarnya. Apalagi kalau berebut bertanya, "mana link-nya". Aku ngakak sendiri.
Uniknya juga ketika ada orang live mengomentari sepak bola, ternyata banyak juga yang mendengarkannya. Jadi, mungkin tak konsen lihat sepak bolanya, tapi lihat dan dengar komentar live.
Aneh? Ya tidak. Karena memang sudah sejak lama komentar itu kadang lebih ditunggu daripada kejadiannya. Bumbu dari komentar itu lebih dahsyat. Ya, komentar yang muncul dari goyangan lidah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H