Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hidup yang Tergesa-gesa

17 November 2023   19:01 Diperbarui: 17 November 2023   19:05 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto hanya ilustrasi. (kompas.com)

Pagi, baru bangun tidur, belum mandi, telepon genggam milik Leman berdering.

"Ya bos," kata Leman.

"Kenapa pesanku tak dibaca!" Kata si bos dengan nada tinggi.

"Oiya sebentar, saya baca dulu," kata Leman panik.

"Ngapain dibaca! Kamu ke kantor jam 7 teng!" Kata Bos makin meninggi.

"Siyaaappp!" Kata Leman.

Bau kecut, Leman mendapati bayinya buang air besar.

"Ya Tuhaaan. Buuuu kenapa Nana tak dipakaikan pampers. Baunya luar biasa!" Kata Leman dari dalam kamar dengan nada yang mulai payah.

"Pampers habis!" Teriak sang istri.

Leman menempelkan kepalanya di sisi kanan pintu, tangan kanannya berada di atas kepala. Badannya menutup setengah jalur pintu.

"Minggir," kata Istrinya.

Leman tahu bahwa pampers habis adalah kode. Kode bahwa istrinya butuh duit. Bukan hanya untuk beli pampers tentunya.

Telepon genggam Leman kembali berdering. Kembalilah dia ke kamar dengan menutup hidung. Lalu melihat bahwa ibunya yang telepon.

"Ya Bu," kata Leman.

"Kamu nanti jam 8 ke Sodik. Dia itu tak bisa dihubungi. Bilang ke dia kalau nanti malam harus ke rumahku. Ada urusan sangat penting," kata Ibu.

"Ya Bu," kata Leman.

"Jangan lupa belikan Pampers," kata istri menyahut ketika telepon genggam tak lagi menempel di telinga Leman.

"Pak ini robotnya rusak," kata si sulung yang baru 4 tahun dan belum sekolah.

Leman melihat robot itu dan memang sudah patah. "Aduh ruwet sekali pagi ini," gerutu Leman.

"Bukan ruwet pak, tapi rusak," kata Si Sulung.

Istrinya yang masih di dalam kamar membersihkan air besar si bayi dengar. "Bukan ruwet pagi ini. Tapi tiap pagi ruwet," kata istrinya.

Leman hanya bisa geleng-geleng kepala. Telepon genggamnya kembali berdering.

"Ya To," kata Leman

"Berkas yang dari Pak Joni di mana? Kau taruh di mana Man?" Kata Anto, kolega Leman di kantor.

"Ya biasa lah di mejamu," kata Leman.

"Meja yang mana Man. Ini bisa jadi masalah besar jika berkasnya tak ada," kata Anto mulai panik.

"Sebentar lagi aku ke kantor," kata Leman makin kepayahan.

Mandi cepat, sarapan cepat, minum cepat. Kepala Leman mau pecah. Hampir setiap hari istri, kantor, ibu, dan orang-orang lain terus menekannya.

Hidup serba cepat. Lalu Leman ingin bergegas. Tapi dia mendapati anak sulungnya basah celana. "Ngompol?" Tanya Leman.

Si sulung mengangguk. Leman geleng geleng kepala. "Buuuu, anakmu ngompol," teriak Leman.

Leman bergegas keluar, menyalakan sepeda motor dan akan pakai helm.

"Kamu mau ke mana?" Kata Istri.

"Ke kantor lah," kata Leman.

"Ngapain hanya pakai celana kolor?" Kata Istri.

Leman geleng-geleng kepala lagi. Kepalanya mau pecah. Dia teriak sekencang-kencangnya. "Aaaaaaarrrgggghhhhh."

"Ngapain teriak-teriak, malu! Teriak cuma pakai kolor tapi pakai kemeja panjang. Kamu dikira orang gila," kata istri dengan nada terus tinggi.

"Aku memang gilaaaa," kata Leman sambil lari masuk rumah untuk ambil celana panjang.

Anaknya yang sulung itu, hanya bingung lihat ayah dan ibunya selalu seperti itu ketika pagi. Adegan yang sangat tidak menyehatkan.

*
"Kenapa selalu aku yang diberi tugas, To. Kan masih ada Rudi, Roni. Dan ini bukan bagian pekerjaanku," keluh Leman pada Anto.

"Ya tak tahu. Kamu tanya saja sama bos," kata Anto.

"Aku sudah tanya," kata Leman.

"Apa jawaban bos?" Tanya Anto.

"Bos bilang, ini perintah. Melawan perintah pimpinan adalah pelanggaran serius," kata Leman.

"Nah kamu sudah tahu jawabannya. Kenapa harus tanya ke aku?" Kata Anto.

"Aku curhaaaaattttt To!" Kata Leman.

"Dasar gila," kata Anto pelan.

Telepon genggam Leman berdering. Telepon dari ibunya.

"Ya Bu," kata Leman.

"Gimana sudah ketemu Sodik," kata ibu.

"Belum, aku masih di kantor," kata Leman.

"Izin saja sebentar Man. Kalau bukan sama kamu. Aku mau minta tolong sama siapa lagi?" Kata si ibu.

Leman seperti biasa bilang, "ya Bu."

*
"Kenapa aku dipecat To," kata Leman dengan muka super kusut di warung kopi depan kantor.

"Ya tanya saja sama bos," kata Anto.

"Aku sudah tanya," kata Leman.

"Apa jawabnya?" Tanya Anto.

"Bos bilang aku membangkang dari perintah atasan. Membangkang dari perintah atasan adalah pelanggaran serius. Apalagi berkali-kali dilakukan," kata Leman.

"Nah itu kamu dapat jawabannya. Kenapa tanya aku," kata Anto.

"Aku curhaaaaattttt To," kata Leman.

"Hey om jangan keras-keras ngomongnya. Bukan masalah memekakkan telinga, tapi mulutmu bau!" Kata si pemilik warung yang tak ramah lagi karena tahu Leman sudah dipecat. Si pemilik warung emoh kalau Leman ngutang.

*
Leman pulang sembari membawa surat pemecatan. Diberilah surat itu ke istrinya. Wajah istrinya memerah, mulai sesenggukan.

"Pak....au..iana..ao..gini," kata istrinya ngga jelas karena sesenggukan nangis.

Leman hanya diam di teras rumah. Menatap kosong hidupnya.

"Pak robotnya rusak," kata Sulung.

Leman lelah dan masuk ke kamar. Dia tutup pintu dan dia nangis sesenggukan luar biasa. Adegannya mirip seperti Paul Rusesabagina di film Hotel Rwanda.

Di tengah sesenggukan itu, dia dapati bayinya bangun dengan buang air besar yang sama, bau kecut. Tapi karena senyum bayinya itu, Leman mengurungkan untuk melanjutkan sesenggukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun