Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Bapak Ditinggal Pergi Anak Lelakinya

8 November 2023   20:19 Diperbarui: 8 November 2023   20:24 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (shutterstock dipublikasikan kompas.com)

Kemarin, aku main ke rumah Darso. Biasa, aku main setelah Isya, sekadar ngobrol ke mana saja. Ditemani kopi dan tembakau. Juga ditemani tahu isi.

Sudah dua pekan ini Darso murung. Dia juga menerawang kosong saat aku ajak ngobrol. Dan akhirnya tumpah juga cerita itu.

"Aku memang seperti kucing dan anjing dengan anakku yang pertama itu, si Rais. Kami seperti tak pernah akur dan memang tak pernah akur," katanya padaku.

"Tapi aku ingat, bagaimana aku habis-habisan saat dia lahir, saat dia sakit waktu kecil. Aku habis-habisan untuknya. Semua aku korbankan agar dia lahir selamat dan dia sembuh dari penyakit," katanya.

"Tapi entah, ketika dia beranjak dewasa, kami seperti kucing dan anjing. Entah mengapa aku selalu ingin marah padanya. Entah mengapa dia juga tak pernah suka padaku," katanya.

Darso menyeruput kopi sembari menerawang kosong. Mulutnya masih saja bicara. "Sudah dua pekan dia pergi dari rumah ini. Dia sudah besar dan ingin jadi pelaut sesuai cita-citanya. Sehari sebelum dia pergi, kami pun masih terus bertengkar," kata Darso.

"Tapi saat dia mau pergi, dia cium tanganku. Mungkin itu kali pertama dia cium tanganku. Sembari bilang, 'bapak baik baik di rumah sama ibu dan Toni. Toni masih kecil pak', dia bilang seperti itu padaku," kata Darso.

"Kau tahu, pagi itu dia melangkah pergi dari rumah. Dia memunggungi kami untuk pergi. Ibunya sesenggukan. Ketika Rais melangkah pergi, aku melihat kakinya. Kaki yang dulu kecil berlari-lari di rumah. Sebenarnya aku tak tahan dengan perpisahan ini. Tapi aku laki-laki," katanya.

"Kau tahu, di almari itu, aku menyimpan satu bantal kecil milik Rais. Bantal bau bedak yang sengaja aku simpan. Istriku selalu mencarinya. Tapi aku bilang 'tak tahu'. Aku simpan terus bantal itu. Aku juga rutin beli bedak bayi. Sembari aku taburkan di bantal itu jika sudah mulai bau," katanya.

"Aku kemarin ambil bantal itu, aku baui seperti membaui Rais kecil. Kok gini amat ya. Aku mau nangis sebenarnya, tapi aku malu. Aku laki-laki," kata Darso.

"Tiga hari lalu Rais telepon ibunya. Aku sebenarnya sangat ingin dengar suaranya dari telepon. Tapi aku malu. Dari balik kamar aku menyingkap korden melihat ibunya menahan tangis saat telepon Rais. Menahan tangis karena kangen. Istriku tak mau Rais rapuh karena tangis ibunya, kangen ibunya. Kau tahu, aku lebih gila lagi. Aku benar-benar menggebu-gebu ingin bicara padanya lewat telepon. Sekadar bilang 'kamu jangan lupa sholat'. Tapi aku ngga bisa. Aku malu," ujarnya.

"Kemudian setelah telepon itu, istriku memelukku. Dia mengaku sangat kangen dengan Rais. Istriku juga bilang bahwa Rais menanyakan kabarku. Dia kangen ayahnya ternyata. Kata istriku, Rais meminta agar aku tidak lupa sholat. Istriku memelukku erat sembari sesenggungan kangen dengan Rais yang kini lebih sering di lautan," kata Darso padaku.

Aku pun seperti ingin menangis dengar kerinduan orangtua pada anak lelaki sulungnya itu. Sebab, aku juga tahu Rais anak yang tidak nakal. Cuma memang lebih sering berantem dengan ayahnya. Berantemnya hanya kata-kata, tak pernah aku melihat kedunya baku pukul.

"Kau tahu," kata Darso melanjutkan.

"Kau tahu setelah rindu menggebu itu, istriku pulas tertidur. Dia kemudian mengigau, 'Kalau Rais kaya, suruh dia jadi wali kota pak. Lalu usahakan sekuat tenaga agar dia bisa ikut pemilihan presiden', begitu kata istriku," ujar Darso.

"Preeeet, politik lagi, politik lagi," ujarku lalu pulang. Tak terbekas sedikit pun cerita sedih setelah Darso bicara politik.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun