"Tiga hari lalu Rais telepon ibunya. Aku sebenarnya sangat ingin dengar suaranya dari telepon. Tapi aku malu. Dari balik kamar aku menyingkap korden melihat ibunya menahan tangis saat telepon Rais. Menahan tangis karena kangen. Istriku tak mau Rais rapuh karena tangis ibunya, kangen ibunya. Kau tahu, aku lebih gila lagi. Aku benar-benar menggebu-gebu ingin bicara padanya lewat telepon. Sekadar bilang 'kamu jangan lupa sholat'. Tapi aku ngga bisa. Aku malu," ujarnya.
"Kemudian setelah telepon itu, istriku memelukku. Dia mengaku sangat kangen dengan Rais. Istriku juga bilang bahwa Rais menanyakan kabarku. Dia kangen ayahnya ternyata. Kata istriku, Rais meminta agar aku tidak lupa sholat. Istriku memelukku erat sembari sesenggungan kangen dengan Rais yang kini lebih sering di lautan," kata Darso padaku.
Aku pun seperti ingin menangis dengar kerinduan orangtua pada anak lelaki sulungnya itu. Sebab, aku juga tahu Rais anak yang tidak nakal. Cuma memang lebih sering berantem dengan ayahnya. Berantemnya hanya kata-kata, tak pernah aku melihat kedunya baku pukul.
"Kau tahu," kata Darso melanjutkan.
"Kau tahu setelah rindu menggebu itu, istriku pulas tertidur. Dia kemudian mengigau, 'Kalau Rais kaya, suruh dia jadi wali kota pak. Lalu usahakan sekuat tenaga agar dia bisa ikut pemilihan presiden', begitu kata istriku," ujar Darso.
"Preeeet, politik lagi, politik lagi," ujarku lalu pulang. Tak terbekas sedikit pun cerita sedih setelah Darso bicara politik. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H