Siti Aminah, wanita desa beranak dua. Suaminya buruh tani. Sitin jualan sayur di pasar. Sayur yang hasil tanaman suami di tepi sawah.
Jika sore hari Siti menjadi guru ngaji di masjid. Dia hanya dapat uang tak seberapa dari mengajar ngaji di masjid. Ya tahu sendiri, biaya mengaji di masjid dibayar sukarela. Siti mengajar ngaji dengan Ustaz Roni, lelaki yang sudah mulai berumur dengan rambut yang memutih.
Belakangan, yang mengaji di masjid hanya 10 anak. Siti tidak terlalu mengetahui ke mana para anak-anak yang sebelumnya ramai di masjid. Tapi Siti tak mau terlalu banyak mikir. Dia hanya ingin membantu Ustaz Roni untuk menjadi guru ngaji di masjid.
Sampai kemudian, Siti tahu bahwa satu per satu muridnya memilih mengudang guru privat ke rumah. Guru privat untuk mengajar ngaji. Guru privat itu dibayar dengan uang yang lumayan. Maka, satu per satu murid Siti hilang, khususnya murid dari keluarga yang punya uang. Sementara, anak-anak yang bertahan mengaji di masjid adalah anak-anak orang tak berada.
Sampai satu ketika, saat di pasar, Siti mendapatkan tawaran untuk menjadi guru ngaji privat. Dia akan dibayar Rp200 ribu per bulan. Konon ada lima anak yang sedang mencari guru ngaji privat. Lima anak ini ngaji tiga kali sepekan dan mengaji di rumah. Artinya, jika Siti mau maka Siti menyambangi rumah si lima anak itu.
Bisa dijadwalkan lima anak mengaji tiap pekan tiga kali. Tentu uang yang menggiurkan untuk Siti yang tak kaya.
"Gimana Ti, mau apa tidak? Kamu kan pintar mengaji. Lumayan juga untuk jajan dua anakmu," kata Marni di pasar pada Siti.
Siti mulanya membayangkan dua anaknya yang masih kecil. Anak yang kadang merengek meminta jajan dan Siti tak punya uang. Dia cukup tergiur dengan uang 1 juta sebulan. Tapi selintas kemudian Siti mengingat wajah Ustaz Roni.
"Kalau aku ngajar privat, siapa yang mau ngajar di masjid? Siapa yang mau mengajar anak-anak orang tak punya itu di masjid?" kata Siti di dalam hati.
Siti belum memberi jawaban pada Marni. Dia pulang dan berbicara dengan suaminya ketika tidur menjelang.