Jika ingat Prabowo Subianto, maka aku ingat cerita calon kepala desa (kades) di sebuah desa di Jawa Tengah. Aku tak hidup di desa itu, tapi aku tahu cerita desa itu dari seorang kawan.
Ceritanya ada seorang calon kades. Dia maju kontestasi pilkades kali pertama puluhan tahun lalu. Di pemilihan kali pertama, sang calon kades ini kalah.
Kemudian, di pemilihan kades selanjutnya, si calon ini kembali maju. Dia maju melawan satu calon yang lain. Lalu keunikan terjadi. Sebab dua calon ini mendapatkan suara yang sama saat pemilihan.
Dua calon mendapatkan suara yang sama saat pemilihan, adalah hal yang langka. Setelah itu, pemilihan diulang dan si calon yang sedang aku ceritakan ini kembali kalah.
Dua kali kalah pilkades, tentu menyedihkan. Tahu sendiri berapa duit yang sudah keluar. Tapi si calon ini tak kapok.
Kali ketiga beruntun, dia kembali mencalonkan diri jadi kades. Lawannya satu orang. Dan dia akhirnya menang. Menang setelah dua kegagalan beruntun.
Pada kawanku aku bertanya mengapa calon itu akhirnya menang?
Kawanku menjawab bahwa ada warga yang kasihan dengan si calon yang kalah melulu. Rasa kasihan itu dituangkan saat pemilihan. Akhirnya rasa kasihanlah yang ikut memberi andil sang calon menang setelah dua kali gagal.
Ada juga warga yang ingin memberi kesempatan pada calon yang dua kali gagal. "Biar merasakan jadi kades," kata kawanku menjelaskan alasan sebagian pemilih.
Lalu, aku selalu ingat. Ingat bahwa sebagian (mungkin besar) tipikal pemilih kita adalah pemilih yang kasihan. Jika ada sosok yang dizalimi, maka dia bisa dipilih.