Begitulah cerita zaman dahulu. Kiai atau guru ngaji bisa sangat galak. Guru ngajiku memakai semacam pemukul kecil.
Kami maju satu per satu mengaji di hadapan guru. Jika ada yang salah, maka pemukul itu akan diketukkan ke meja. Pak guru tidak menjelaskan di mana letak kesalahannya.
Kami disuruh mencari sendiri kesalahannya. Nanti kami akan mengulangi bacaan. Bisa saja kembali salah karena kami salah mendeteksi titik kesalahan.
Ada murid yang salah berkali-kali, ketukan ke meja bisa sangat keras sekali. Kadang disertai dengan penekanan suara, "bukan begitu!". Kalau sudah ada ketukan keras dan suara lantang dari pak guru ngaji, sesurau sunyi senyap.
Kalau tak kuat mental, suara pentungan dan hentakan penekanan dari guru ngaji bisa membuat stres.
Tapi itu masa lalu. Apakah cara mengajar itu masih relevan di masa sekarang? Aku tak tahu. Tapi dari beberapa gambaran, jika anak sekarang dikerasi, maka orangtua bertindak. Zaman sudah berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H