Anak yang kelas 2 atau 3 SD, sudah bisa baca alquran, tapi terbata-bata. Belum lancar. Baca Alquran belum lancar, apalagi baca berzanji.
Satu ketika pak Kiai yang sudah sangat sepuh "marah". Ya wajar menurutku karena anak-anak memang mengganggu selama pembacaan berzanji. Setelah baca berzanji usai, pak kiai bicara lantang.
Kira-kira bicaranya begini. "Pekan depan, anak kecil tetap boleh ikut berzanji, tapi harus ikut baca, dapat giliran," kata pak kiai.
Ultimatum itu sampai ke telinga ibuku. "Udah kamu ngga usah ikut berzanji. Jika ikut dan kamu tak bisa baca, bisa panjang urusannya," kata ibuku.
Akhirnya, aku memang tak ikut berzanji. Tapi beberapa temanku yang sangat berhasrat memburu makanan, tetap ikut berzanji di malam Jumat itu. Padahal, teman-teman sepermainanku itu juga belum bisa baca alquran, apalagi berzanji. Karena di tempatku, saat mengaji reguler, boleh baca berzanji jika baca Alquran sudah lancar.
Bisa dibayangkan, belum bisa baca berzanji lalu nekat ikut. Keesokan harinya, cerita malam Jumat keramat itu jadi buah bibir. Aku yang tak berangkat pun tahu situasinya.
Salah satu temanku yang masih kelas 1 SD, nekat ikut berzanji dan langsung dapat giliran baca berzanji. Bayangkan saja, anak kelas 1 SD ditodong disuruh baca berzanji. Semua peserta diam untuk mendengarkan suara anak kelas 1 SD.
Katanya, temanku itu keringatnya sejagung-jagung. Dia gemetaran dan melempar kitab berzanji, lalu dia lari tunggang langgang pulang ke rumah.
Satu lagi anak kelas 3 SD juga kena todong untuk baca berzanji. Tapi anak ini sudah bisa "nakal" sekalipun belum bisa baca berzanji. Dia tahu pak kiai sudah sepuh dan pendengarannya tak sejelas ketika masih muda.
Temanku yang kelas 3 SD ini baca dengan suara tak jelas. "Aku baca dengan nada tapi yang aku baca asal-asalan dengan suara yang tak jelas," katanya padaku. Dia pun selamat dari ranjau malam Jumat itu.
Keras