Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cara SMA Saya Dulu Menekan Plagiasi

18 Februari 2023   07:23 Diperbarui: 18 Februari 2023   07:30 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (foto oleh Alexei dari Pixabay )

Saat SMA dahulu, sebelum lulus, maka ada tugas membuat karya tulis ilmiah. Tugas itu terjadi ketika kelas 3 atau sekarang kelas 12 dan menjadi syarat kelulusan. Seingatku seperti itu. Sehingga, membuat karya tulis adalah wajib.

Saat kelas 2, saya membayangkan sulitnya membuat karya tulis ilmiah. Mungkin karena ancaman kesulitan itu, bisa saja ada siswa yang tinggal copy paste karya tulis terdahulu.

Apalagi di masa tahun 90-an, tak ada alat pendeteksi plagiasi. Tinggal ambil karya tulis kakak angkatan tiga tingkat di atas, sepertinya beres. Hal seperti itu sangat mungkin terjadi.

Lalu bayangan tentang membuat karya tulis itu hilang berantakan. Sebab, saat saya kelas 3, sekolah membuat kebijakan tidak memberi tugas karya ilmiah pada siswa. Karena tidak ada karya ilmiah, maka tak ada plagiasi.

Sebagai gantinya, SMA saya yakni SMAN 1 Kendal, membuat kebijakan baru. Tugas anak yang kelas tiga adalah membuat resensi buku.

Siswa diminta meresensi buku dan bukunya didonasikan ke sekolah untuk menambah koleksi perpustakaan. Bagi saya itu terobosan luar biasa. Bayangkan saja, ada 250-an anak kelas 3, maka akan 250 buku baru di perpustakaan.

Nah, membuat resensi buku tentu tergantung dari bukunya. Potensi melakukan plagiasi sangat kecil. Ada dua alasan mengapa potensi plagiasi karya resensi kecil.

Pertama, buku antarsiswa berbeda. Kalau buku yang diresensi berbeda, maka tak ada plagiasi. Kedua, kebijakan resensi buku itu adalah kebijakan pertama di masa saya. Artinya, siswa tidak bisa menyontek kakak angkatan. Sebab, kakak angkatan masih membuat karya tulis, bukan resensi buku.

Memang bisa saja memplagiasi karya resensi di koran. Misalnya beli koran, baca resensinya, cari bukunya. Tapi itu pun tidak mudah. Sebab di zaman itu masyarakat yang langganan koran bisa dihitung dengan jari.  

Koran yang beredar pun koran lokal dan tidak beragam. Halaman resensi buku di koran hanya sekali sepekan. Bayangkan saja, jenis koran hanya segelintir alias satu dua koran, dan halaman resensi sepekan sekali.

Jika pun memplagiasi tulisan di koran, mencari bukunya yang diresensi di koran tentu tidak mudah. Di tempat saya tak ada toko buku. Harus ke kota besar. Di kota besar, buku yang dicari pun belum tentu ada. Jika pun ada, mahal pula harganya.  

Bagaimana dengan joki ilmiah? Joki biasanya adalah membuat karya ilmiah. Kalau disuruh meresensi buku, si joki harus baca bukunya terlebih dahulu. Lalu format resensi buku tentu tidak sama dengan karya tulis ilmiah. Kalau si joki menerima lima jokian resensi buku, dia harus baca lima buku dan itu tentu melelahkan.

Bagi saya kebijakan sekolah kala itu yang mengganti tugas karya ilmiah dengan resensi buku tentu terobosan luar biasa. Selain soal teknis kecurangan berkurang, juga memberi dampak pada keragaman buku di perpustakaan.

Tak tahu apakah setelah angkatan saya, tugas akhir masih tetap membuat resensi buku? Sebab, jika masih buat resensi buku, buku di perpustakaan akan membludak dan ruangan perpustakaan tak akan bisa menampung banyaknya buku.

Tentu saja di masa kini, resensi buku sangat mudah diplagiasi karena sudah ada internet. Tapi yang ingin saya sampaikan, perlu ada kreativitas atau terobosan yang berani agar negeri ini tidak menciptakan makhluk copy paste atau perjokian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun