Jika pun memplagiasi tulisan di koran, mencari bukunya yang diresensi di koran tentu tidak mudah. Di tempat saya tak ada toko buku. Harus ke kota besar. Di kota besar, buku yang dicari pun belum tentu ada. Jika pun ada, mahal pula harganya. Â
Bagaimana dengan joki ilmiah? Joki biasanya adalah membuat karya ilmiah. Kalau disuruh meresensi buku, si joki harus baca bukunya terlebih dahulu. Lalu format resensi buku tentu tidak sama dengan karya tulis ilmiah. Kalau si joki menerima lima jokian resensi buku, dia harus baca lima buku dan itu tentu melelahkan.
Bagi saya kebijakan sekolah kala itu yang mengganti tugas karya ilmiah dengan resensi buku tentu terobosan luar biasa. Selain soal teknis kecurangan berkurang, juga memberi dampak pada keragaman buku di perpustakaan.
Tak tahu apakah setelah angkatan saya, tugas akhir masih tetap membuat resensi buku? Sebab, jika masih buat resensi buku, buku di perpustakaan akan membludak dan ruangan perpustakaan tak akan bisa menampung banyaknya buku.
Tentu saja di masa kini, resensi buku sangat mudah diplagiasi karena sudah ada internet. Tapi yang ingin saya sampaikan, perlu ada kreativitas atau terobosan yang berani agar negeri ini tidak menciptakan makhluk copy paste atau perjokian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI