Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bagian Akhir: Tiba-tiba, Kepala Binatang-binatang Itu Bermunculan

11 Januari 2023   18:57 Diperbarui: 11 Januari 2023   19:18 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Sarun. Orang menyebutku sebagai Ki Sarun. Orang menilaiku sebagai lelaki yang hanya bicara ketika sangat penting saja. Orang menilaiku sebagai lelaki yang sering bungkam, seperti menyumpal mulut dengan bara.

Aku merasa terlambat bergerak. Aku mendapatkan keyakinan luar biasa bahwa ada yang tidak beres dengan San, bocah baik itu. Maka, dengan instingku, dengan keyakinanku, kini aku tak jauh dari mulut goa di bukit macan.

Di pagi yang cerah ini, aku mencoba membaui bukit macan. Aku merasa memang ada bau darah di sini. Saat aku terus membaui, secara mendadak aku melihat lelaki berlari kencang, melompat ke sana ke mari, melalui tebing yang lumayan curam.

"Ki Sarun, terima kasih banyak. Terima kasih Ki Sarun," kata lelaki itu dari kejauhan. Aku coba mengingat barang sekejap, siapakah dia? Bukan orang kampungku. Tapi aku yakin jika aku mengenalnya. Aku mengernyitkan dahi, memicingkan mata. Aku mencoba memutar memoriku.

"Ah... dia Salim, lelaki berkepala kuda. Tapi...dia sudah kembali seperti manusia?" kataku lirih.

Ya, aku merasa cepat harus beranjak ke atas. Ke goa itu. Aku perlu memberi penerangan yang cukup untuk melihat sesuatu di goa itu. Agak licin memang, aku perlu hati-hati. Agak lembap juga. Aku perlu berjalan dengan seksama.

Kau tahu, ketika beberapa langkah aku masuk goa, aku melihat sesosok lelaki penuh darah. Aku mencoba mendekat dan memperlihatkan cahayaku ke wajahnya. Benarlah kekhawatiranku. Dia San, bocah baik itu. Tewas berlumuran darah.

Tarik napas dalam-dalam. Bisa jadi runyam jika ceritanya seperti ini. Aku bisa dituduh sebagai pembunuh. Aku harus pergi. Aku harus memburu Salim. Dia pasti tahu kejadian sebenarnya. Aku harus menghapus jejakku di goa ini, secepatnya.

Aku tahu bahwa kabarnya langit di balik  bukit macan sangat gelap. Sangat sulit mencari manusia di sana. Tapi aku akan mencobanya. Bukit yang lumayan curam aku daki. Tak mudah tentunya. Menjelang puncak, tak ada tanda-tanda kegelapan. Di puncak bukit, aku melihat wilayah yang gelap itu sudah terang benderang. Tentu mudah buatku untuk mencari Salim. Toh aku juga mengetahui rumahnya.

Tapi, aku mulai lihat darah berceceran di mana-mana. Aku melihat orang-orang bertarung dengan senjata tajam. Aku tak lagi melihat manusia berkepala binatang. Aku lihat manusia yang sewajarnya. Mungkin cerita tentang manusia binatang itu sudah selesai. Mereka berbalik kembali jadi manusia.

Tapi, mengerikan sekali aku melihatnya saat mereka saling bertarung dengan senjata tajam. Darah mengalir seperti air bah. Tapi, di antara mereka tak ada yang meninggal dunia. 

Mereka berteriak kesakitan tapi sembari terus bertarung dengan pedang, dengan pisau, dengan parang.

"Ayo kita berhenti, ayo kita berhenti," teriak di antara mereka, tapi dengan tangan yang terus mengayunkna parang ke orang lain.

Yang lainnya pun berteriak yang sama. "Kita hentikan saja, perih sekali rasanya," tapi tangannya terus mengayunkan pedang ke arah yang lainnya.

"Aku tersiksa. Aku perih, mari kita berhenti," teriak Salim yang tiba-tiba aku lihat. Salim meneriakkan itu sembari terus mengayunkan celuritnya.

Mereka tak berhenti saling menyakiti, sekalipun mulut mereka terus ingin berhenti. Mereka tak juga mati sekalipun darah sudah memerahkan sungai. Aku melihatnya sendiri. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku tak berbohong. Sungguh!

Aku baru sadar, aku sudah terlalu banyak cerita padamu, banyak bicara padamu. Sesuatu yang tak pernah aku lakukan sebelumnya. Maafkan aku...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun