Aku juga tak bikin gol di musim itu, tapi bikin tiga assist plus satu momen dilanggar lawan hingga kami dapat penalti.
Yang lebih menyesakkan selain gagal ke final adalah hasratku yang besar. Hasratku bermain bola telah ikut menghancurkan nilai-nilai pelajaranku. Pernah ujian matematika dapat nilai 3,5. Benar-benar hancur.
Untungnya aku naik kelas. Hehehe. Sejak kekalahan menyakitkan lewat adu penalti itu, aku mengubur hasrat bermain sepak bola dalam-dalam.
Sejak awal kelas 3, pilihan hidupku sempit. Jika ingin kuliah, harus kuliah di universitas negeri karena dulu universitas negeri terkenal lebih murah dari swasta. Sebab, bapak bukan orang kaya dan harus membiayai lima anak.
Kalau tak kuliah di universitas negeri, maka aku sepertinya harus kerja. Di masa tengah kelas 3, ada informasi lowongan kerja di kapal. Habis lulus bisa diangkut ikut ke Malaysia, jika lolos seleksi. Aku coba siapkan berkasnya. Ancang-ancang jika tak lolos masuk perguruan tinggi negeri, kerja di laut.
Di sisi lain, aku harus fokus belajar di kelas 3 SMA. Mati-matian aku belajar. Segala tenaga dan kemampuan aku kerahkan untuk memperbaiki nilai. Bahkan, aku sering mengosongkan perut.
Uang saku dari bapak, tak semua aku pakai. Aku sisakan untuk ditabung. Kelak dari uang itu, tetek bengek biaya les dan ujian masuk perguruan tinggi negeri aku lunasi.
Saat proses daftar hingga tes dan jelang pengumuman hasil ujian masuk perguruan tinggi negeri, doaku makin gila-gilaan. Mengosongkan perut, bangun malam, doa berjam-jam di dinihari. Belum lagi kena musibah kecelakaan lalu lintas dengan beberapa luka di tubuh. Ujian masuk perguruan tinggi dengan tangan luka yang belum sembuh.
Tangan kananku yang luka itu, sering mengeluarkan cairan. Ketika mengisi lembar kerja komputer, aku harus memastikan tak ada cairan yang netes ke lembar kerja. Sekalipun tanganku yang luka sudah ditutup, cairan luka itu masih saja mengalir.
Momen masa pra dan pasca ujian masuk perguruan tinggi negeri benar-benar penuh ujian.
Jadi...