Kami lolos ke semifinal. Kami melawan kelas yang tak istimewa. Tapi punya satu pemain serba bisa level kabupaten. Anggaplah seperti Argentina yang memiliki Messi.
Kami yakin menang. Tapi di babak pertama kami tertinggal 0-2. Entah bagaimana kami memiliki energi dan kemudian bisa membalikkan keadaan jadi 3-2 sampai jelang akhir laga. Sialnya mereka bikin gol ketiga sehingga sama kuat 3-3.
Tak ada babak tambahan. Langsung adu penalti. Aku tak berani menendang penalti. Tak punya cukup mental menendang penalti.
Lima pemain ditentukan menjadi penendang penalti dan tentu saja tak ada namaku. Sebab, aku tak mau.
Celakanya sampai lima penendang, kedudukan sama kuat 3-3. Aku mau tak mau kemudian menendang penalti tambahan. Yang membuatku agak tenang, lawan yang menendang penalti sebelumku gagal.
Artinya, jika aku bisa cetak gol di adu penalti itu, kami lolos ke final. Jika aku gagal, penalti berlanjut. Aku coba tipu kiper. Seolah ingin menendang ke kanan, tapi ke kiri.
"Blooook," tendanganku ditepis. Aku gagal. Kami belum ke final. Kawan penendang setelahku dapat beban besar sebab lawan mampu bikin gol. Temanku harus buat gol agar napas kami masih ada.
Lagi...temanku gagal bikin gol dan kami kalah. Gagal ke final. Lemas tak ketulungan. Temanku penendang terakhir, murung luar biasa.
"Sudah, kita juga sampai ke semifinal karena golmu di perempat final," kata teman menghibur temanku yang terakhir gagal penalti.
Kecewa luar biasa. Esok harinya berat sekali berangkat sekolah. Ingin hari-hari berat itu cepat berlalu. Aku juga kecewa kenapa tak minta diganti jelang laga berakhir ketika kami unggul 3-2.
Seandainya saja aku digantikan bek, pertahanan kami bakal lebih bagus. Tapi sudahlah...