Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Timnas Argentina dan sepak bola Argentina

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah Tukang Tambal Ban di Tepi Jalan Jakarta

3 September 2022   05:32 Diperbarui: 3 September 2022   05:37 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto: kompas.com/garry a lotulung

Selama pernah hidup di Jakarta belasan tahun lalu, salah satu pengalaman yang sering aku alami adalah ban sepeda motor bocor. Ban bocor kena paku.  Kalau sudah begitu, maka cari tukang tambal ban tepi jalan.

Catat ya, tidak semua orang nakal. Aku ingin menegaskan saja, selama banyak berurusan dengan tukang tambal ban di Jakarta, tiga kali aku merasa tidak nyaman.

Jadi jika dipersentasekan, lebih banyak tukang tambal ban yang baik-baik saja. Nah, tiga pengalaman itu aku ungkapkan.

Pertama si tambal ban ini tidak nakal. Tapi dia terkesan menyalahkan ban motor yang tidak berisi udara penuh dan tak menggubris paku di jalanan.

"Kalau ada paku, asal ban motornya penuh angin, ya ngga masalah," katanya kira-kira begitu.

Tidak salah memang, tapi seperti menafikan fenomena  bahwa ada paku yang banyak di jalanan kala itu.  Bahkan ada relawan penyedot paku jalanan. Ya artinya, paku disebar di jalanan ya perilaku atau fenomena yang bermasalah, jangan malah condong menyalahkan ban yang tak berisi udara penuh.

Kedua, cerita tentang tambal ban yang tidak prima. Entah bagaimana ceritanya aku lupa. Tapi yang pasti, setelah berurusan dengan si tambal ban, rem belakang sepeda motorku tidak berfungsi.

Wah gila! Akhirnya aku harus cari bengkel jalanan lagi untuk membereskan rem belakang. Aku saat itu membayangkan ancaman kecelakaan ketika motor dengan rem belakang tak berfungsi.

Ketiga, ini yang paling parah. Ban motor bocor. Cari tambal ban tepi jalan. Memang saat ban dibongkar aku tak terlalu memperhatikan. Itu kesalahanku.

Tapi si tukang tambal ban kemudian memperlihatkan kondisi ban dalam. Ternyata putus, bannya sudah terbelah. Dengan potongan yang rapi.

Dalam hati, mana mungkin ban dalam bisa sampai putus, terbelah? Dugaan saya bahwa ban dalam itu telah digunting. Ya, pada akhirnya mau tak mau aku membeli ban dalam yang baru. Kacau!

Fenomena terakhir adalah fenomena yang agak berbeda. Bukan tukang tambal ban yang nakal.

Saat itu, setelah Subuh saya meluncur di jalanan. Nah ban kemudian bocor. Jam 5 pagi, jarang ada yang sudah beraktivitas. Tapi untungnya ada satu tambal ban yang sudah buka.

Nah, ternyata tukang tambal bannya ibu-ibu, usia jelang 50-an tahun. Dia terlihat kepayahan membongkar ban dan menambalnya. Sampai akhirnya aku malah seperti asisten montir untuk membantu.

Baru kali itu aku jadi konsumen sekaligus mirip mekanik. Tapi di sisi lain, aku juga trenyuh karena ibu-ibu harus bekerja tentang hal yang berat dan dia tak mampu maksimal melakukannya. Kalau bukan desakan ekonomi yang berat, aku pikir ibu-ibu itu tak akan menjadi tukang tambal ban.

Hidup di jalanan kala itu membuatku akrab dengan fenomena ban bocor. Setelah tak lagi di Jakarta, aku juga beberapa kali berurusan dengan tukang ban. Selama aku di daerah, entah itu di Semarang, Kendal, Purwokerto, Banyumas, Cilacap, dan beberapa daerah lain tak pernah bertemu tukang tambal ban aneh seperti di sebagian titik di Jakarta.

Tekanan hidup yang luar biasa di Jakarta, kadang juga membuat sebagian orang melakukan hal-hal di luar batas kepantasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun