Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) Â berseberangan dalam hal beberapa praktik keagamaan.
Organisasi keagamaan Islam di Indonesia, ÂDi tahun 80-an yang aku alami, gesekan dan polemik di akar rumput dari dua organisaai itu sangat kuat. Memang gesekan itu tak pernah menimbulkan perkelahian fisik. Tapi gesekannya sangat keras.
Salah satu saja perbedaan yang memunculkan gesekan adalah qunut di salat Subuh. Muhammadiyah tak melakukan qunut di salat Subuh dan NU melakukan qunut di salat Subuh.
Perbedaan itu memunculkan gesekan di akar rumput. Bahkan, kata-kata tak pantas muncul dari dua pihak di akar rumput masa itu. Â
Saya yang kala itu masih kecil, terus bertanya apa sebenarnya yang membuat akar rumput dari dua organisasi itu tak akur. Karena saya sendiri memang masih kecil, tak paham rinci tentang Islam.
Jika kumpul dengan akar rumput Muhammadiyah, maka mereka mengklaim benar dan menyalahkan NU. Jika kumpul dengan akar rumput NU, mereka mengklaim benar dan menyalahkan Muhammadiyah.
Sampai satu ketika pada satu hari di tahun 1995-an, saya mendengarkan tanya jawab di radio. Ada penanya yang mempertanyakan beda pandangan antara Muhammadiyah dan NU dalam praktik beragama.
Pemateri yang menjawab, tidak menyalahkan salah satu atau kedua organisasi tersebut. Tapi, jika ada gesekan keras (tapi bukan fisik), dari akar rumput dua organisasi itu, maka gesekan itu adalah sisa-sisa dari mengakarnya devide et impera.
Devide et impera yang saya pahami adalah politik pecah belah yang dilakukan Belanda. Perbedaan yang wajar dan mungkin, tidak dimaknai sebagai perekat. Perbedaan yang wajar dan mungkin, malah dijadikan bahan bakar untuk pecah belah.
Maka, si pemateri di radio kala itu mengatakan, pertikaian dua kubu terkait beda pendapat, adalah salah satu warisan devide et impera yang masih mengakar. Warisan kolonial yang masih membekas kala itu.
Saya langsung paham. Bahwa upaya politik pecah belah Belanda di masa kolonial, masih terasa. Maka, sejak saat itu, jika ada perbedaan alamiah/wajar dan dijadikan bahan bakar untuk pertikaian, maka itu adalah warisan kolonial. Warisan kolonial yang harusnya dibuang jauh-jauh.
Kini, akar rumput Muhammadiyah dan NU sepertinya dari yang saya ketahui (setidaknya di lingkungan saya), tak lagi bergesekan kencang seperti dulu. Semoga saja makin baik harmoni di akar rumput.
Nah, di luar cerita NU dan Muhammadiyah masa lalu, apakah kini masih ada mereka yang ngompori agar pecah belah terjadi? Agar ada keuntungan ekonomi atau politis?
Jika ketegangan antardua kubu yang tak perlu, kok masih terjadi, artinya nyawa politik pecah belah zaman kolonial masih ada di masa kini. Jika tak bisa memaknai perbedaan wajar sebagai rahmat, jika masih ada gesekan kuat karena beda yang wajar dan alamiah, maka hanya satu jawaban, "Norak!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H