Ilustrasi. Foto: louis hansel dipublikasikan kompas.com
Dulu makan tidak boleh sembarangan. Setidaknya itu yang aku pahami. Makan tidak boleh seperti kuda, yakni mengunyah makanan dan berbunyi seperti kuda saat makan.
Makan pun tak boleh mempertontonkan secara sengaja bagaimana mulut menganga dan menyantap makanan. Misalnya di hadapan orang lain, mempertontonkan mulut menganga dan makan. Jadi orang lain dipaksa melihat mulut yang menganga.
Dua itu saja tentang kesopanan zaman dahulu di tempatku. Aku tentu tak bisa memukul rata bahwa adab makan di semua tempat di Indonesia pada masa lalu sama seperti tempatku.
Maka, dengan balutan masa lalu seperti itu, kadang aku berpikir ketika ada orang makan dan memperlihatkan mulut yang menganga. Aku lihat itu di televisi. Di depan kamera memperlihatkan mulut menganga. Ya secara tidak langsung memaksa pemirsa melihat mulut menganga. Dalam hati, "kok begitu ya?"
Tapi aku langsung berpikir dari sudut pandang lain. Bisa jadi, di tempat lain ada kebiasaan makan dengan mulut yang menganga di depan orang.
Mungkin saja, bagi mereka adalah hal biasa. Bisa saja saya yang terlalu baperan. Bisa saja saya yang terlalu menggeneralisir bahwa semua tempat memiliki adab sama pada masa lalu tentang makan.
Tapi bisa saja cara makan orang memang berubah. Dulu seperti tempatku, kini seperti TV. Kini memang saatnya makan dengan eksploitatif? Atau bisa saja kini makan sesuai dengan selera pasar?
Jadi, jika makan sembari menganga itu disukai pasar, ya itulah faktanya. Mungkin begitu? Entahlah.
Tapi yang aku tahu, pasar itu sering berbenturan dengan nilai. Bagi penganut pasar, mereka menggunakan kata "terobosan" atau "out of the box" sebagai landasan. Bagi penganut pasar, maka keuntungan adalah yang utama. Tujuan untung yang dibalut dengan selimut konsep macam-macam. Ya intinya tetap saja cari untung.
Namun, bagi penganut nilai, maka nilai yang utama. Dasarnya adalah keberadaban, kemanusiaan. Pasar tidak boleh memberangus kemanusiaan. Maka ketika ada pasar yang serampangan, penganut nilai akan melawan. Tapi kebanyakan kalah dan tersisih.
Yang unik adalah mereka yang mengaku pejuang nilai, tapi perilakunya pasar. Ngomongnya nilai, tapi perilakunya pasar.
Kok jadi gini tulisannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H