Darso, lelaki berumur 45 tahun itu wafat. Dia meninggal dunia setelah panas tinggi selama dua hari. Dibawa ke rumah sakit, tapi tak tertolong.
Di hari kematiannya, Nani, sang istri sesenggukan. Dia tak henti-hentinya menceritakan bagaimana kebaikan Darno. Nani menceritakan pada ibu-ibu RT.
"Bapak itu hebat, banting tulang demi anak-anak. Bahkan dia rela tak makan dalam beberapa kesempatan agar bisa menabung," kata Nani menceritakan almarhum Darno yang kerjanya sebagai tata usaha di sebuah sekolah.
Kebaikan Darno pada keluarga diungkap sedemikian rupa. Ada kehilangan amat sangat karena Darno adalah pahlawan keluarga.
Kesedihan juga merambat ke tetangga. Sedih karena ditinggalkan. Tapi para tetangga tak punya cerita heroik tentang Darno. Para tetangga juga tak punya cerita cacat amat sangat tentang Darno.
Usai takziah, ibu-ibu pulang dan bercerita ria.
"Menceritakannya sangat heroik ya tapi tak ada bekas cerita hebat yang muncul dari tetangga," kata Ani menceritakan Nina. Ani bercerita pada ibu lain yang jalan pulang.
Tapi ibu-ibu tak ada yang merespons. Mereka jalan cepat-cepat agar sampai rumah. Sebab, lagi ramai cerita klitih.
Ani merasa bahwa suaminya, Dikun, jauh lebih heroik dan perkasa daripada Darno. Dikun bukan hanya pahlawan bagi keluarga, tapi juga masyarakat. Dikun adalah sosok pemimpin di dalam dan luar rumah.
Ani pantas lebih bangga pada suaminya yang perkasa itu. Lebih perkasa daripada Darno.
***