Jika akan pentas, maka promosi dilakukan dengan terbatas, melalui selebaran dan pembebasan. Zaman itu belum ada media sosial. Jadi promosi tak bisa masif.
Jika sudah pentas, yang nonton tak sampai 100 orang. Sebagian besar juga komunitas teater lain yang mendukung dan mengkritisi. Â Jadi, dengan realitas itu, jangan harap teater bisa memenuhi kebutuhan ekonomimu.
Tentu ini adalah kesimpulan berdasarkan pengalaman pribadi. Jika ada komunitas teater yang bisa menghidupi perekonomian anggotanya, ya mungkin saja. Toh hidup tak selalu satu pandangan kan?
So, daripada memandang teater sebagai industri pertunjukan, aku lebih suka memandang teater sebagai tempat belajar hidup.
Dengan teater, maka kepekaan kita diasah. Jika kita berperan sebagai orang jahat, maka harus sepeka mungkin sebagai orang jahat. Jika kita jadi pahlawan, sepeka mungkin jadi pahlawan.
Saat di panggung kita harus peka dengan lawan main. Bagaimana gerak lawan main dan kita harus bagaimana. Tak bisa sesuka hati mengeksplorasi diri dengan mengabaikan lawan main, tentu kecuali monolog.
Berteater memperkaya pengetahuan, bahkan spiritualitas. Berteater adalah belajar hidup, belajar berproses, yang akan dipetik buahnya tiap hari dalam kehidupanmu. Tentu bukan dalam bentuk uang.
Dan memang, hidup tak selalu melulu tentang uang, dan untung rugi materi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H