ilustrasi. foto: kompas/yuniadhi agung dipublikasikan kompas.com
Saya tak mau membahas soal wayang yang sedang ramai itu. Saya hanya cerita tentang lingkungan saya pada sebuah kampung di Jawa Tengah. Lingkungan yang ketika berbicara wayang kulit, maka hanya diketahui orang yang sudah tua.
Tapi saya tak mau menggeneralisir. Artinya, kejadian di kampung saya, mungkin berbeda dengan kampung lainnya.
Jadi dalam beberapa kesempatan seperti kumpulan warga, orang-orang yang sudah di atas kepala lima, asyik ngobrol tentang wayang. Ngobrol tentang aksi dalang A, dalang B, dalang C.
Ngobrol asyik perbedaan dalang dan cerita wayang yang disajikan. Ngobrol bagaimana ada wayang Kumbakarna, Pandawa Lima, dan lainnya. Sekali lagi, mereka yang fasih dengan wayang adalah yang berusia di atas kepala lima. Mereka yang berusia di bawah 50 tahun hanya jadi pendengar.
Apakah saya yang di bawah kepala lima tak paham wayang? Saya paham, tapi tak keseluruhan. Apalagi jika basis wayang yang diceritakan adalah Mahabharata dan Ramayana, sedikit-sedikit saya paham.
Para sesepuh ini bukan hanya jadi jawara saat orbrolan wayang. Mereka juga jadi jawara saat ada pertunjukan wayang. Mereka yang sudah sepuh itu kuat melihat wayang semalam suntuk, walaupun mungkin harus diberi "jamu" terlebih dahulu agar kuat nonton sampai pagi.
Apakah saya pernah nonton wayang? Tentu pernah beberapa kali. Tapi tak pernah sampai tuntas, tak kuat mata dan badan. Apakah saat ada tontonan wayang, mereka yang muda juga menghadiri? Ya ada juga yang muda, tapi tidak banyak. Definisi muda di sini adalah di bawah kepala empat. Kalau anak umur belasan tahun masa kini aku jarang sekali melihat mereka menonton wayang. Â
Selain didominasi orang tua, pertunjukan wayang juga setahu saya hanya bisa ditanggap oleh mereka yang berduit. Setahu saya (mungkin tiap daerah beda), untuk menanggap wayang, butuh duit belasan juta.
Pasar