Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

"Tulisanmu Mirip Lontong!"

16 Januari 2022   12:56 Diperbarui: 16 Januari 2022   13:02 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah tragedi, sekalipun ketika waktu berlalu, mirip komedi. Sebuah cerita belasan tahun lalu ketika kerja menjadi ajang untuk membantai mental.

Kala itu, kami sedang bekerja di depan komputer. Kami membuat laporan, membuat tulisan. Di tengah kesibukan, seorang bos datang. Yang namanya bos, karakternya macam-macam.

Ada bos yang langsung menjatuhkan mental dan bahkan menjatuhkan "harga diri" anak buahnya di hadapan orang lain. Ada juga bos yang memilih memberi pelajaran secara tertutup pada anak buahnya. Pelajaran yang berupa amukan atau umpatan, tapi tak sampai kontak fisik. Intinya, hidup atau dunia kerja itu memang keras. Apalagi jika kamu bukan orang yang punya kekuatan, siaplah untuk bertarung. Kira-kira begitu.

Kembali ke cerita di atas. Saat itu si bos mendatangi kami. Si bos langsung mengecek tulisan seorang teman. Kami yang lain tetap sibuk membuat laporan.

Si bos itu, membaca laporan si teman. Setelah dibaca sekilas, si bos bicara dengan nada tinggi. "Tahu ngga, tulisanmu mirip lontong!" Kata si bos meninggi.

Menganalogikan tulisan dengan lontong, membuat sebagian kami menahan tawa. Tapi, aku juga lihat ekspresi teman yang tulisannya dituding mirip lontong. Wajah si teman itu terlihat mengisyaratkan rasa malu. Aku yang tadinya mau tertawa, kemudian jadi iba.

"Kamu tahu lontong? Lontong itu panjang, tapi dalamnya tak ada isinya. Tulisanmu panjang, tapi substansinya bicara apa, tidak jelas!" Kata si bos melanjutkan.

Si teman yang "didamprat" hanya tertunduk diam. Wajah si teman memerah dengan rambut acak-acakan. Aku melihat raut malu dan sedih. Sebuah tragedi!

Selang beberapa hari, si teman menumpahkan perasaannya. Dia bisa menerima jika laporannya masih belum bagus. Tapi, dia mengaku malu "didamprat" seperti itu di hadapan orang banyak.

Apalagi si teman ini dan kami semua, masih muda. Anak muda biasanya memang mencari perhatian. Jika sudah jatuh "marwahnya" di hadapan banyak orang, maka mencuri perhatian pun sulit dilakukan.

Seiring berjalannya waktu, kami melupakan pilu kejadian itu. Kami malah sering tertawa, mengolok-olok sembari bercanda, tentang "tulisan lontong". Waktu berlalu dan tragedi itu jadi kenangan untuk lucu-lucuan.

Aku hanya mengambil pelajaran dari momen masa lalu itu. Tidak semua orang memiliki perasaan dan penerimaan yang sama. Maka, kadang memang harus tahu orang, tahu tempat, dan tahu waktu ketika bertindak dan berkata-kata. Sebab, alih-alih kata-kata itu bisa memperbaiki, yang terjadi malah merusak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun