Melihat performa Indonesia di 30 an menit akhir, maka saya pun kemudian ragu apakah Indonesia bisa mengalahkan Malaysia dan Vietnam?
Lalu?
Ada waktu tiga hari bagi Indonesia untuk memulihkan tenaga kemudian melawan Laos. Kalau menurut saya, jika fisik para pemain tak memadai, akan repot jika main dengan pressing tinggi.
Jika pressing tinggi juga dilakukan pada Laos dan pemain makin kewalahan, maka tenaga untuk melawan Vietnam dan Malaysia akan menurun.
Jika kondisi fisik menurun, maka akan bahaya. Maka istilahnya jangan boros baterai. Kalau menurut saya mending main ritme. Ada sosok di tengah yang mengendalikan permainan. Sehingga Indonesia bisa mengatur ritme, bukan pressing ketat tiap saat. Tapi, mengatur ritme kapan kencang dan kapan pelan.
Mungkin niat pelatih bagus untuk pressing ketat. Hanya saja masalahnya karena skuat Indonesia terlihat kepayahan bermain dengan pressure tinggi selama 90 menit. Itu sih menurut saya.
Liverpool
Kemudian saya jadi ingat Liverpool di ajang Liga Inggris 2018-2019. Saat itu, mereka bermain bagus dan pressure tinggi. Di pertengan musim, Liverpool mampu memimpin klasemen Liga Inggris.
Tapi kemudian, pressure tinggi itu tidak kontinu. Mereka kedodoran di akhir. Mereka gagal juara.
Saya khawatir jika main dengan pressure tinggi tapi tak dibarengi fisik yang memadai, Indonesia bakal kedodoran di laga-laga akhir. Sekali lagi jangan boros baterai.
Maka sekali lagi, memainkan ritme penting. Di sini Evan Dimas bisa jadi aktor. Kapan menekan dan kapan mengurangi tekanan. Walau memang, melihat Indonesia bermain pressure tinggi memang menarik, tapi kalau akhirnya kedodoran ya sayang juga.