Timnas Ukraina saat kualifikasi Piala Dunia 2018 lalu. foto: SERGEI SUPINSKY dipublikasikan kompas.com
Ada 12 tim Eropa yang akan melakoni playoff menuju Piala Dunia 2022. Dari 12 tim itu, hanya ada tiga tim yang nantinya berhak lolos ke Piala Dunia 2022. Di babak playoff ini, faktor politik juga memberi pengaruh.
Sebanyak 12 tim yang akan bermain di playoff adalah Portugal, Italia, Masedonia Utara, Swedia, Turki, Austria, Republik Ceko, Skotlandia, Rusia, Wales, Polandia, dan Ukraina. Ke-12 tim itu akan dibagi dalam tiga kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas empat tim dan akan main dalam format semifinal dan final. Juara masing-masing kelompok akan lolos ke Piala Dunia 2022.
Undian pembagian kelompok akan dilaksanakan pada 26 November 2021. Sementara, pertandingan playoff akan dilaksanakan pada Maret 2022. Adapun Piala Dunia 2022 akan dilaksanakan pada 21 November sampai 18 Desember 2022.
Nah, dalam pembagian kelompok yang akan dilaksanakan pada 26 November nanti, faktor politik ternyata berpengaruh. Negara yang memiliki hubungan politik yang tidak baik, tidak boleh dipertemukan. Setidaknya itulah aturan yang dimunculkan FIFA/UEFA.
Dari 12 tim yang mengikuti playoff, Rusia dan Ukraina adalah negara yang secara politik tidak akur. Diketahui, dulunya Ukraina masuk dalam Uni Soviet bersama Rusia. Namun, kemudian Ukraina memutukan untuk merdeka di awal dekade 90-an.
Hubungan kedua negara juga tak akur sampai saat ini. Setidaknya pada November ini, mengacu pemberitaan abc.net.au, Rusia membangun pangkalan militer di area yang berbatasan dengan Ukraina. Hal ini tentu memantik polemik. Ada kekhawatiran Rusia akan melakukan serangan pada Ukraina.
Maka, karena faktor itu pula, kedua tim tak boleh bertemu di kualifikasi Piala Dunia 2022. Artinya, saat pembagian kelompok playoff Piala Dunia 2022 zona Eropa, dua negara itu tak akan ada dalam satu kelompok.
Sejatinya bukan hanya Rusia dan Ukraina saja yang tak boleh satu kelompok di kualifikasi Piala Dunia 2022. Dua negara yang tak boleh berkelompok atau bertemu di kualifikasi Piala Dunia zona Eropa adalah Armenia dan Azerbaijan, kemudian Gibraltar dan Spanyol, lalu Kosovo dan Bosnia & Herzegovia, lalu Kosovo dan Serbia, kemudian Kosovo dan Rusia.
Namun, karena babak playoff hanya menyisakan Rusia dan Ukraina, maka hanya pertemuan itu saja yang dilarang.
Olahraga dan Politik
Situasi yang ada saat ini di Eropa menjelaskan bahwa sepak bola tak bisa merdeka sepenuhnya. Situasi politik antarnegara juga membuat sepak bola terpengaruh. Sebenarnya, perseteruan politik itu tak terbatas pada negara, namun juga pada pemain.
Misalnya saja, ketika ada pemain kelahiran Kosovo atau berdarah Kosovo/Albania melawan Timnas Serbia, maka akan muncul aroma perseteruan di lapangan. Masih ingat kan bagaimana Xherdan Shaqiri dan Granit Xhaka yang berdarah Kosovo/Albania dan membela Swiss sangat bersemangat melawan Serbia dan memantik permusuhan. Sebab, Kosovo-Albania tak akur dengan Serbia. Laga Swiss vs Serbia itu terjadi pada Piala Dunia 2018.
Ada juga cerita soal Marko Arnautovic yang berdarah Serbia dan membela Timnas Austria. Dia terlihat sangat emosional dan sempat mengungkapkan kata tak pantas usai mencetak gol ke gawang Masedonia Utara di Euro 2020. Namun, mulut Arnautovic ditutup oleh kapten David Alaba. Diketahui, Serbia dan Masedonia Utara juga tak terlalu akur.
Sebenarnya, jika mau berbicara hanya olahraga, maka hendaknya hal seperti itu tak terjadi. Kalau bisa, semangat sportivitas olahraga dijadikan alat untuk mendamaikan. Jika pun tidak bisa mendamaikan, setidaknya olahraga dijadikan ajang yang bebas dari politik.
Hanya saja, faktanya memang ada pengaturan soal pelarangan negara tertentu melawan negara tertentu. Tapi, batasan pelarangan ini juga tak terlalu jelas. Misalnya saja, bagaimana jika ada atlet Iran melawan Israel di Olimpiade? Atau atlet Indonesia vs Israel di Olimpiade? Apakah laga itu akan dibatalkan karena Iran dan Israel atau Indonesia dan Israel tak akur secara diplomatik? Setahu saya tidak dibatalkan, tetap berjalan. Yang ada adalah atlet dari salah satu negara mundur karena negaranya bermusuhan dengan Israel.
Jadi, aturan soal pembatalan pertemuan antarnegara itu juga tak rinci dan tak bersifat universal. Jika tak rinci dan tak bersifat universal, maka aturan pelarangan seperti ini bisa dengan dalih "suka-suka". Begitu? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H