Ilustrasi. Foto: tribunnews dipublikasikan kompas.tv
Sebelum menulis lebih banyak, aku ingin menjelaskan maksud kata mengaji di tulisan ini. Mengaji yang kumaksud di tulisan ini adalah aktivitas belajar dengan kiai atau pemuka agama Islam. Sang kiai membaca dan menjelaskan kitab karya ulama besar masa lalu, sementara sang murid mendengarkan dan bisa bertanya.
Sejak Covid-19 melanda, aku tak lagi mengaji. Hampir dua tahun aku tak lagi mengaji. Tapi belakangan, aku bisa kembali mengaji karena boleh berkumpul dengan protokol kesehatan.
Beberapa guruku adalah kiai kampung. Tapi, jika aku membandingkan dengan pendakwah yang sering muncul di TV atau media sosial, maka kiai guruku ini selevel dengan mereka. Atau malah bisa di atas mereka.
Aku juga yakin, banyak kiai kampung yang memiliki ilmu mumpuni. Cuma, memang tak menonjolkan diri.
Lalu apa yang membuat aku yakin para kiai kampung (termasuk para guruku) memiliki ilmu mumpuni kelas nasional? Ada beberapa hal yang menjadi alasanku.
Pertama, paham bahasa Arab. Bisa membaca tulisan huruf hijaiyah tanpa kharokat. Bisa baca dan paham artinya. Maka, tentu paham bahasa Arab.
Kenapa penting bisa paham bahasa Arab? Ya karena literatur agama Islam banyak berbahasa Arab. Sama kasusnya dengan ilmu lain yang literaturnya banyak berbahasa Inggris, maka akan afdhol jika paham bahasa Inggris.
Kedua, referensinya banyak. Kenapa saya bisa bilang referensinya banyak? Karena banyak kitab yang dibahas. Selesai bahas kitab atau buku A, lalu bahas kitab atau buku B, C, D, dan seterusnya. Contohnya misalnya kitab sullam taufiq, tafsir Yasin Hamami Zadah, tanbihul ghofilin, qomiut tughyan, dan lainnya.
Kitab yang dibahas adalah karya ulama yang ilmunya sudah dikenal secara luas. Bukan karya orang antah berantah lalu dijadikan bahan bahasan.