Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kembali Mengaji dengan Kiai Kampung Level Nasional

15 November 2021   02:31 Diperbarui: 15 November 2021   05:44 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Foto: tribunnews dipublikasikan kompas.tv

Sebelum menulis lebih banyak, aku ingin menjelaskan maksud kata mengaji di tulisan ini. Mengaji yang kumaksud di tulisan ini adalah aktivitas belajar dengan kiai atau pemuka agama Islam. Sang kiai membaca dan menjelaskan kitab karya ulama besar masa lalu, sementara sang murid mendengarkan dan bisa bertanya.

Sejak Covid-19 melanda, aku tak lagi mengaji. Hampir dua tahun aku tak lagi mengaji. Tapi belakangan, aku bisa kembali mengaji karena boleh berkumpul dengan protokol kesehatan.

Beberapa guruku adalah kiai kampung. Tapi, jika aku membandingkan dengan pendakwah yang sering muncul di TV atau media sosial, maka kiai guruku ini selevel dengan mereka. Atau malah bisa di atas mereka.

Aku juga yakin, banyak kiai kampung yang memiliki ilmu mumpuni. Cuma, memang tak menonjolkan diri.

Lalu apa yang membuat aku yakin para kiai kampung (termasuk para guruku) memiliki ilmu mumpuni kelas nasional? Ada beberapa hal yang menjadi alasanku.

Pertama, paham bahasa Arab. Bisa membaca tulisan huruf hijaiyah tanpa kharokat. Bisa baca dan paham artinya. Maka, tentu paham bahasa Arab.

Kenapa penting bisa paham bahasa Arab? Ya karena literatur agama Islam banyak berbahasa Arab. Sama kasusnya dengan ilmu lain yang literaturnya banyak berbahasa Inggris, maka akan afdhol jika paham bahasa Inggris.

Kedua, referensinya banyak. Kenapa saya bisa bilang referensinya banyak? Karena banyak kitab yang dibahas. Selesai bahas kitab atau buku A, lalu bahas kitab atau buku B, C, D, dan seterusnya. Contohnya misalnya kitab sullam taufiq, tafsir Yasin Hamami Zadah, tanbihul ghofilin, qomiut tughyan, dan lainnya.

Kitab yang dibahas adalah karya ulama yang ilmunya sudah dikenal secara luas. Bukan karya orang antah berantah lalu dijadikan bahan bahasan.

Karena banyak referensi maka akan memberi banyak warna. Sehingga orang jadi paham ketika ada beda pendapat dari referensi yang berbeda, juga tahu alasan di balik beda pendapat itu.

Kalau orang berilmu beda pendapat, maka alasan beda pendapat itu bisa jadi pengetahuan yang baru alias memperkaya khasanah. Kalau orang miskin ilmu beda pendapat, maka alasan beda pendapanya malah jadi masalah baru hehehe.

Kalau kaya referensi, maka ketika berhadapan dengan realitas yang beragam akan lebih terbuka dan lapang dada, sekaligus punya banyak alternatif cara menganalisis realitas. Kalau miskin referensi, ketika bertemu dengan realitas yang beragam, menganalisisnya hanya pakai itu-itu saja. Ibarat sepak bola, main lawan apapun, strateginya terus bertahan. Sebab, tak pernah paham soal referensi menyerang.

Ketiga, santun dan cerah. Selama ini saya tak pernah mendengar para kiai kampung ini mengumpat dengan kata kotor. Yang ada malah mengaji diselingi guyonan, jadi rileks. Ingat ya, mengaji diselingi guyonan, bukan guyonan diselingi mengaji.

Keempat, gratis. Mengaji di kiai kampung sepengetahuanku gratis. Kalau mau bersedekah untuk masjid ya silakan. Bahkan, ada juga kiai kampung yang setelah mengajar, malah memberi makanan pada muridnya.

Tentu tulisanku ini subjektif. Tapi aku hanya ingin mengatakan bahwa yang berkualitas itu tak dibatasi oleh popularitas.  Aku hanya ingin bilang bahwa yang tak populer juga bisa berkualitas.

Aku hanya ingin bilang bahwa ilmu hidup itu bisa didapatkan di banyak tempat, bahkan di kampung sekalipun. Ilmu hidup tidak bisa dibatasi hanya bisa didapatkan di kota besar dan biaya yang mahal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun