Karena banyak referensi maka akan memberi banyak warna. Sehingga orang jadi paham ketika ada beda pendapat dari referensi yang berbeda, juga tahu alasan di balik beda pendapat itu.
Kalau orang berilmu beda pendapat, maka alasan beda pendapat itu bisa jadi pengetahuan yang baru alias memperkaya khasanah. Kalau orang miskin ilmu beda pendapat, maka alasan beda pendapanya malah jadi masalah baru hehehe.
Kalau kaya referensi, maka ketika berhadapan dengan realitas yang beragam akan lebih terbuka dan lapang dada, sekaligus punya banyak alternatif cara menganalisis realitas. Kalau miskin referensi, ketika bertemu dengan realitas yang beragam, menganalisisnya hanya pakai itu-itu saja. Ibarat sepak bola, main lawan apapun, strateginya terus bertahan. Sebab, tak pernah paham soal referensi menyerang.
Ketiga, santun dan cerah. Selama ini saya tak pernah mendengar para kiai kampung ini mengumpat dengan kata kotor. Yang ada malah mengaji diselingi guyonan, jadi rileks. Ingat ya, mengaji diselingi guyonan, bukan guyonan diselingi mengaji.
Keempat, gratis. Mengaji di kiai kampung sepengetahuanku gratis. Kalau mau bersedekah untuk masjid ya silakan. Bahkan, ada juga kiai kampung yang setelah mengajar, malah memberi makanan pada muridnya.
Tentu tulisanku ini subjektif. Tapi aku hanya ingin mengatakan bahwa yang berkualitas itu tak dibatasi oleh popularitas. Â Aku hanya ingin bilang bahwa yang tak populer juga bisa berkualitas.
Aku hanya ingin bilang bahwa ilmu hidup itu bisa didapatkan di banyak tempat, bahkan di kampung sekalipun. Ilmu hidup tidak bisa dibatasi hanya bisa didapatkan di kota besar dan biaya yang mahal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H