Tadi malam, jelang tidur ada sebuah pesan WhatsApp masuk. Tepatnya adalah pesan video.
Pesan video itu tentang potret perayaan Weh wehan di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Weh wehan, dari beberapa informasi yang saya baca adalah kebiasaan di Kaliwungu saat Maulid Nabi.
Weh wehan makna katanya adalah saling memberi. Jadi di masa Maulid Nabi itu warga saling memberi makanan semampunya. Selain itu, mereka yang muda inisiatif menyambangi (silaturahmi) ke yang tua untuk memberi. Dari acara ini ada beberapa makanan khas yang selalu ada, salah satunya apem.
Beberapa memori mengalir ketika aku melihat video itu. Ada beberapa potongan memori yang mengikat ketika aku melihat video Weh wehan. Pertama adalah memori cerita dari almarhum Mbah Moen.
Dalam sebuah pengajiannya, Mbah Moen mengatakan, onta akan berlari makin kencang ketika melihat kubah hijau yang dibangun di atas makam Nabi Muhammad SAW.
Onta itu berlari makin kencang karena rindu dengan Nabi Muhammad SAW. Sebuah potret rasa cinta.
Kedua, aku juga teringat dengan lagu Rindu Rasulnya Bimbo. Ketiga, aku ingat dengan tausiahnya Gus Baha, murid Mbah Moen yang mengatakan bahwa rindu kita, orang Indonesia yang beragama Islam, pada Nabi Muhammad SAW sangat besar.
Aku teringat cerita seorang teman, jika ingin sehat, mandilah sebelum Subuh. Kata temanku, itulah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.
Jadi semua kilasan potret itu menumpuk di pikiranku ketika melihat Weh wehan. Memori tentang cinta dan rindu pada Nabi Muhammad SAW. Dan penghormatan sekaligus cinta dibungkus dengan saling memberi (Weh wehan) adalah hal baik. Bersilaturahmi (saat Weh wehan) adalah hal baik.
Maka memperingati Maulid Nabi dengan hal baik adalah baik. Sesederhana itu pikiranku. Selama ini pun, orang-orang yang suka memberi saat perayaan, adalah orang yang juga memang melatih atau terlatih memberi di hari-hari biasa.
Melakukan hal baik di hari istimewa, melatih kebaikan untuk hari setelahnya. Melakukan hal baik di hari istimewa, untuk rindu pada Nabi Muhammad SAW.