Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Ibu Sakit

23 September 2021   19:23 Diperbarui: 23 September 2021   19:28 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ibu terbaring di rumah sakit. Lalu, ribuan ingatanku jadi gelombang. Aku meneteskan air mata. Tapi maaf, aku tak mau mengeksploitasi kesedihanku terlalu dalam. Cukup untukku saja.

Aku duduk di kursi yang aku dekatkan dengan tempat tidur itu. Ibu tidur pulas. Aku tempelkan jemariku ke jemarinya. Aku sandarkan kepalaku di tempat tidur ibu.

Sembari aku melihat televisi itu. Sembari aku melihat berita duka soal wanita terkenal yang sedang sakit. Ya, dia sakit seperti ibuku. Lalu televisi itu memberitakan banyak ucapan doa dari banyak orang.

Ada orang awam, ada orang penting, ada tulisan berjalan, ada anak baru gede. Mereka berlomba mendoakan yang terbaik bagi wanita terkenal itu. Begitulah rasa cinta, tak mengenal batas. Semua cinta wanita terkenal itu.

Aku coba bangun dan melihat telepon genggamku.  Di sosial media, ucapan duka dan doa bertumpuk tak terkira pada wanita terkenal itu. Padahal, mereka yang mengucapkan doa itu bukan sanak dan saudara.

Kemudian aku memandangi ibuku. Ibu yang sendirian mengasuhku setelah bapak meninggal dunia. Ibu membesarkan anak semata wayang ini dengan cinta. Sembari berdagang kecil-kecilan, ibu mengasuhku.

Aku merasa tak memiliki memori buruk tentang ibu. Mungkin karena dia ibuku? Tapi aku juga tak pernah dengar orang kampung  mencela ibu.

Ibu adalah sosok yang sering mengunci mulutnya. Bicara saja seperlunya. Ibu, memakai listrik seperlunya, memakai air seperlunya, meminum air seperlunya, makan seperlunya. Aku malah melihat ibu adalah kesunyian yang kokoh, kesunyian yang nyata.

Lalu, ibu sebaik ini, yang sedang sakit ini, tak banyak yang mendoakan? Selain aku anak tunggalnya, selain orang kampung dan pasar desa yang segelintir itu?

Aku tak berhak membandingkan ibuku yang baik ini dengan wanita terkenal itu. Karena, memang beda cerita. Tapi, aku pun ingin agar banyak orang mendoakan ibuku.

Ya, aku merasa perlu menyampaikan kabar soal ibuku. Kabar ke grup WA teman temanku, atau ke media sosial. Ya harapannya banyak yang mendoakan ibuku.

Sempat terlintas untuk memotret ibu dan menyebar foto sakitnya di dunia maya. Sebagai bukti bahwa ibu sakit dan butuh doa. Tapi, begitu niat itu muncul, ibu terbangun. Ibu tersenyum dengan mata yang belum sempurna terbelalak.

Ibu hanya mengarahkan wajahnya ke wajahku. Dia berucap singkat. "Jangan," kata ibu kemudian tersenyum dan kembali terlelap.

Sebuah penolakan halus dari ibu. Aku tentu sebagai anaknya, agak tak tega jika sangat sedikit yang mendoakan wanita hebat ini.  Aku, mungkin karena cemburu, terus membandingkan bagaimana  banyak orang mendoakan wanita terkenal itu dan segelintir yang mendoakan ibuku. Air mataku menetes.

"Kenapa sedikit sekali yang mendoakan ibu?" Tanyaku bercampur lelah tak terkira.

***

Aku melihat cerah matahari, hangatnya pagi. Aku lihat ke atas. Lalu, pelan-pelan aku mulai dengar suara permohonan doa itu. Makin lama, suara permohonan doa itu makin banyak.

Permohonan doa terbaik untuk ibuku. Aku tengok tembok rumah. Aku terperanjat karena tembok rumahku memiliki mulut dan komat kamit berdoa untuk ibu. Aku lihat lampu, juga memiliki mulut dan berdoa.

Aku lihat semut melantunkan doa secara serempak untuk ibuku. Aku lihat tanah juga berdoa, bahkan tanah memiliki mata  dengan tetesan airnya.

Semakin lama, semuanya memiliki mulut, sebagian memiliki mata. Berdoa gemuruh tapi tak memekakkan telinga. Gelombang doanya  berirama. Aku terkesima, aku terkesima. Tak ada yang tak berdoa untuk ibuku. Sampai kemudian aku terbangun dari tidurku.

Sayup-sayup aku dengar lagu yang disukai ibuku...

Yale-yale, yale-yale, yale
Yale-yale, yale-yale, yale
Hati senang tiada menentu
Bagaikan kumbang menghisap madu....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun