Sempat terlintas untuk memotret ibu dan menyebar foto sakitnya di dunia maya. Sebagai bukti bahwa ibu sakit dan butuh doa. Tapi, begitu niat itu muncul, ibu terbangun. Ibu tersenyum dengan mata yang belum sempurna terbelalak.
Ibu hanya mengarahkan wajahnya ke wajahku. Dia berucap singkat. "Jangan," kata ibu kemudian tersenyum dan kembali terlelap.
Sebuah penolakan halus dari ibu. Aku tentu sebagai anaknya, agak tak tega jika sangat sedikit yang mendoakan wanita hebat ini.  Aku, mungkin karena cemburu, terus membandingkan bagaimana  banyak orang mendoakan wanita terkenal itu dan segelintir yang mendoakan ibuku. Air mataku menetes.
"Kenapa sedikit sekali yang mendoakan ibu?" Tanyaku bercampur lelah tak terkira.
***
Aku melihat cerah matahari, hangatnya pagi. Aku lihat ke atas. Lalu, pelan-pelan aku mulai dengar suara permohonan doa itu. Makin lama, suara permohonan doa itu makin banyak.
Permohonan doa terbaik untuk ibuku. Aku tengok tembok rumah. Aku terperanjat karena tembok rumahku memiliki mulut dan komat kamit berdoa untuk ibu. Aku lihat lampu, juga memiliki mulut dan berdoa.
Aku lihat semut melantunkan doa secara serempak untuk ibuku. Aku lihat tanah juga berdoa, bahkan tanah memiliki mata  dengan tetesan airnya.
Semakin lama, semuanya memiliki mulut, sebagian memiliki mata. Berdoa gemuruh tapi tak memekakkan telinga. Gelombang doanya  berirama. Aku terkesima, aku terkesima. Tak ada yang tak berdoa untuk ibuku. Sampai kemudian aku terbangun dari tidurku.
Sayup-sayup aku dengar lagu yang disukai ibuku...
Yale-yale, yale-yale, yale
Yale-yale, yale-yale, yale
Hati senang tiada menentu
Bagaikan kumbang menghisap madu....