Ibu terbaring di rumah sakit. Lalu, ribuan ingatanku jadi gelombang. Aku meneteskan air mata. Tapi maaf, aku tak mau mengeksploitasi kesedihanku terlalu dalam. Cukup untukku saja.
Aku duduk di kursi yang aku dekatkan dengan tempat tidur itu. Ibu tidur pulas. Aku tempelkan jemariku ke jemarinya. Aku sandarkan kepalaku di tempat tidur ibu.
Sembari aku melihat televisi itu. Sembari aku melihat berita duka soal wanita terkenal yang sedang sakit. Ya, dia sakit seperti ibuku. Lalu televisi itu memberitakan banyak ucapan doa dari banyak orang.
Ada orang awam, ada orang penting, ada tulisan berjalan, ada anak baru gede. Mereka berlomba mendoakan yang terbaik bagi wanita terkenal itu. Begitulah rasa cinta, tak mengenal batas. Semua cinta wanita terkenal itu.
Aku coba bangun dan melihat telepon genggamku. Â Di sosial media, ucapan duka dan doa bertumpuk tak terkira pada wanita terkenal itu. Padahal, mereka yang mengucapkan doa itu bukan sanak dan saudara.
Kemudian aku memandangi ibuku. Ibu yang sendirian mengasuhku setelah bapak meninggal dunia. Ibu membesarkan anak semata wayang ini dengan cinta. Sembari berdagang kecil-kecilan, ibu mengasuhku.
Aku merasa tak memiliki memori buruk tentang ibu. Mungkin karena dia ibuku? Tapi aku juga tak pernah dengar orang kampung  mencela ibu.
Ibu adalah sosok yang sering mengunci mulutnya. Bicara saja seperlunya. Ibu, memakai listrik seperlunya, memakai air seperlunya, meminum air seperlunya, makan seperlunya. Aku malah melihat ibu adalah kesunyian yang kokoh, kesunyian yang nyata.
Lalu, ibu sebaik ini, yang sedang sakit ini, tak banyak yang mendoakan? Selain aku anak tunggalnya, selain orang kampung dan pasar desa yang segelintir itu?
Aku tak berhak membandingkan ibuku yang baik ini dengan wanita terkenal itu. Karena, memang beda cerita. Tapi, aku pun ingin agar banyak orang mendoakan ibuku.
Ya, aku merasa perlu menyampaikan kabar soal ibuku. Kabar ke grup WA teman temanku, atau ke media sosial. Ya harapannya banyak yang mendoakan ibuku.