Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cancel Culture Dunia Politik Praktis, Bagaimana?

19 September 2021   14:35 Diperbarui: 19 September 2021   14:36 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. foto: shutterstock dipublikasikan kompas.com

Dari beberapa definisi yang saya baca, cancel culture dimaknai sebagai pemboikotan oleh masyarakat pada sosok yang dinilai negatif. Imbasnya sosok itu bisa terkucilkan. Kecenderungannya cancel culture ini adalah pada selebritas.

Artinya selebritas yang dinilai mengucapkan sesuatu atau berperilaku negatif kemudian diboikot. Imbasnya, sumber pemasukan atau uang berkurang karena sepi job.

Dari beberapa informasi, ada selebritas yang diboikot dan akhirnya tenggelam. Tapi ada yang diboikot malah makin berkibar.

Saya kemudian mengkhayal, apakah cancel culture ini terjadi juga di dunia politik praktis? Misalnya karena punya perangai yang tak memadai, seorang politikus kemudian diboikot publik.

Pemboikotan paling bagus tentunya ketika si politikus ini maju di kontestasi pemilihan, baik itu di  tingkat daerah atau pusat. Nah saya membayangkan bagaimana kekuatan cancel culture ini menggelembung di masa jelang pemilu.

Untuk apa? Tentunya, pemboikotan ini dilakukan agar mereka yang memiliki rekam jejak bermasalah, tak bisa jadi wakil rakyat atau pemimpin. Harapannya, agar yang terpilih adalah mereka yang memiliki rekam jejak relatif bagus.

Mungkin usaha ke sana sudah ada. Usaha untuk mengenyahkan mereka yang bermasalah dari dunia politik. Dahulu pernah ada kampanye anti politikus hitam. Artinya politikus hitam jangan dipilih di saat pemilu. Politikus hitam ini adalah mereka yang memiliki rekam jejak buruk secara hukum atau etika. Apakah usaha itu berhasil? Lihat saja sendiri.

Di sisi lain, persoalannya menjadi ribet jika misalnya ternyata, bukan hanya segelintir politikus yang bermasalah, tapi banyak yang bermasalah. Nah itu yang sulit. Mau memboikot si X, si Y juga ternyata bermasalah.

Atau mungkin saja pemboikotan pada si X berhasil. Kemudian yang jadi adalah si Y yang punya rekam jejak relatif bagus. Tapi, setelah jadi pemimpin atau wakil rakyat, si Y sama saja ulahnya dengan si X. Nah itu juga merepotkan.

Makanya, kadang berharap mereka yang memiliki rekam jejak yang bagus, yang tegas, yang sudah selesai dengan urusan dunia, maju ke dunia politik. Jika banyak orang seperti itu, sepertinya dunia politik akan lebih bagus. Sepertinya, begitu.

Sebab, dari politik itu akan muncul kebijakan. Kebijakan yang akan berpengaruh pada hajat hidup orang banyak. Jika yang membuat kebijakan adalah orang yang bermasalah, saya menduga, kebijakannya pun akan bermasalah. Yang kena dampak ya orang-orang kecil yang tak memiliki kekuatan politik dan kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun