Saat malam tiba, aku harus menidurkan si kecil. Pekerjaan yang tak mudah ternyata. Saat dinihari, perlu bangun memastikan apakah dia ngompol atau tidak.
Kadang dari dinihari sampai siang, mata belum terpejam. Sebentar terpejam lalu terbelalak lagi, karena harus memastikan bahwa semua masih baik-baik saja.
Hari ketiga badanku mulai tak keruan. Emosi kecil mulai meletup. Biasanya karena efek kelelahan. Tapi aku coba untuk meredamnya dengan caraku sendiri. Bisa!
Kemudian, setelah empat hari ritual baru itu berjalan, istriku mendapat kabar bahwa dia positif Covid-19. Lalu kami dikabari oleh bidan desa bahwa kami (sekeluarga kecuali istri) harus diswab esok pagi.
Kini ibuku yang pusing. Ibu mulai meraba kemungkinan jika dirinya juga positif. "Kalau positif aku ngga bisa ke mana mana," katanya.
Aku mencoba untuk tidak pusing. Tapi mulai bingung jika kami sekeluarga positif. Apalagi ada dua anak-anak. Ah sudahlah, mending tidur walau badan mulai makin tak enak.
Esok hari, aku memutuskan yang terakhir berangkat swab. Setelah anggota keluarga lain pulang dari swab, baru aku berangkat. Aku jaga rumah sembari memantau istri.
Ibuku kemudian mengucap syukur usai pulang dari swab dan membuka pintu rumah. "Negatif," katanya.
Artinya tinggal aku yang belum diswab. Aku tak mau ambil pusing sebenarnya. Tapi sembari naik motor ke puskesmas, terlintas di pikiran jika aku positif Covid-19.
"Mau karantina di mana? Nanti kalau keluarga butuh orang dewasa bagaimana," gumanku.
Maklum saja, aku adalah lelaki yang secara fisik bisa diandalkan untuk mobile. Kalau ibu butuh apa di pusat kecamatan, maka aku yang berangkat naik motor. Tetek bengek yang butuh mobilitas, aku bisa diandalkan. "Nah kalau aku positif bagaimana?" Tanyaku dalam hati.