Aku dan orang orang, hanya bisa menutup wajah, sembari sedikit membuka mata. Antara rasa pilu dan rasa penasaran bercampur.
Ini cerita soal pembual. Siang malam ada beberapa lelaki dan perempuan di kampungku tukang membual. Ada yang omongannya seperti orang suci. Ya tak masalah. Toh kesucian omongan tetap kesucian omongan.
Tapi, sembari omong suci, dia tetap mencuri. Itu yang menyakitkan. Sembari bilang bahwa mencuri dilaknat alam, dia merenggut uang-uang dari kami. Semua orang tahu itu.
Ada juga lelaki yang bicara tentang cinta dan penghormatan pada wanita dan para ibu. Menghormati wanita adalah kewajiban. Tak masalah juga bagiku. Itu baik.
Tapi di sela menghormati wanita, dia juga memperbudak beberapa wanita. Dia merayu dan memaksa wanita bau kencur tak tahu apa-apa untuk dijual. Ngilu rasanya.
Ada juga perempuan yang selalu berkoar tentang liarnya dia. Bangga dengan keliaran itu. Karena keliaran akan membuat orang tertarik dan terperanjat. Menjadikan orang sebagai pengikut di dunia maya.
Lama-lama kami gerah, tapi kami enggan melawan. Kalau kami melawan, kami langsung jadi sansak di kampung. Maklum, pendukung mereka banyak sekali.
Orang-orang tua di tempat kami juga jadi bahan bully hanya karena mengingatkan para pembual itu. Ya sudahlah, kami diam saja. Kami memilih ada di dalam rumah. Sesekali keluar untuk bersama dengan orang-orang sealiran.
***
Kemudian, hal yang aneh terjadi. Para pembual itu kena laknat. Sesuatu yang tak pernah kami bayangkan. Awalnya Marmo, si pembual yang pandai pidato itu.
Marmo seperti biasa selalu diberi panggung jika ada acara di kampung kami. Saat peresmian perombakan gardu, Marmo salah satu yang memberi sambutan.
Marmo itu tukang maling yang bibirnya mulus seperti salju. Nah, Marmo mulai berbicara dalam sambutan itu. Saat awal sambutan, kami tidak ngeh kalau setiap kata yang keluar dari mulutnya berdampak pada sobek pakaiannya.
Marmo pun tak sadar. Mungkin konsentrasinya terganggu dengan suaranya sendiri. Jadi, tiap kata yang keluar dari mulutnya, pakaiannya robek. Sampai kemudian Marmo sadar bahwa malam yang dingin dia rasakan karena sobeknya baju dan celana.
Semakin Marmo kebingungan dan teriak, semakin sobeklah pakaiannya. Ibu-ibu muda yang melihat itu mulai menutup muka. Karena celana Marmo sobek.
Tantri ibu muda yang ganjen itu menutup muka sembari memberi celah pada matanya. "Aaaaiiii," kata Tantri ketika melihat celana Marmo sobek tak ketulungan.
"Ada apa Tan?" Kata Siti sembari menutup muka.
"Anunya Kang Marmo, Sit. Coba lihat sendiri," kata Tantri.
Siti mulai bergejolak hatinya. Tapi dia memilih kukuh menutup muka. Dia ingat Kang Parmin yang perkasa.
Lalu, semakin Marmo marah, semakin lepaslah pakaiannya karena robek tak ketulungan. Dia pun lari tunggang langgang pulang ke rumah di malam hari yang menusuk tulang itu. Sebagian warga hanya bisa melongo. Sebagian yang lain bingung.
Itu baru Marmo, belum cerita Pardi yang suka membual itu. Tiap dia ngomong di depan orang, pakaiannya robek. Anton, yang mengaku sudah begitu dengan banyak wanita juga kena karma.
Maya, ah dia juga kena laknat. Kejadian Maya lebih tak keruan. Aku pun bingung memosisikan diri. Antara penasaran dan rasa tak enak.
***
Masalah di kampungku makin runyam. Mereka yang membelalakkan mata melihat pelucutan pakaian, juga kena petaka. Mereka yang membelalakkan mata itu, makin rabun penglihatannya.
Kampung kami pun lumpuh. Sudah sepekan tak ada orang keluar rumah. Mereka memikirkan kesalahan masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H