Nama Abdullah Hehamahua kembali jadi pembicaraan. Dia meminta kadernya di Partai Masyumi Reborn tak bertepuk tangan. Pasalnya tepuk tangan adalah budaya Yahudi. Dia meminta agar diganti pekik "Allahu Akbar". Oiya posisi Abdullah di Partai Masyumi adalah Ketua Majelis Syuro.
*
Beberapa kali pada belasan tahun yang lalu, saya dapat slentingan soal lelaki yang satu ini. Namanya Abdullah Hehamahua. Saya mendengar slentingan itu ketika yang bersangkutan masih jadi penasihat KPK di masa kepemimpinan Taufiequrachman Ruki.
Slentingannya, dia relatif bersih. Kalau mengisi acara dengan kapasitas sebagai penasihat KPK, dia tak mau dibayar. Orangnya juga terlihat agamis. Satu kesempatan dia pernah berujar, tiap pagi memberi pesan pendek pada para pegawai KPK tentang keagamaan.
Sekilas saya melihat Abdullah Hehamahua adalah sosok yang memiliki kesalehan individual. Di sisi lain, saat pertama kali mendengar namanya sebagai penasihat KPK, saya merasa tak asing.
Kenapa? Karena saya pernah mendengarnya sebagai politisi. Iya, benar, pada Pemilu 1999 saya ingat Abdullah Hehamahua adalah Ketua Umum Masyumi. Cuma saya lupa Masyumi yang mana karena pada 1999 lebih dari satu Partai Masyumi yang ikut pemilu.
Jadi Abdullah Hehamahua bukan orang yang anti politik. Dia memang pernah berpolitik sebelum di KPK. Ketika tak lagi di KPK, dia ada di pusaran politik, maka sudah tak mengherankan.
*
Dari beberapa kali slentingan dan yang pernah saya baca, saya yakin jika Abdullah Hehamahua memang sosok yang saleh secara individual. Saya yakin tentang itu.
Namun, di sisi lain, ada rupa yang berbeda. Khususnya ketika dia memaknai agama, sampai pada taraf tepuk tangan. Sampai tepuk tangan pun "dipermasalahkan". Tapi, itu tentu hak beliau. Hak beliau untuk memiliki prinsip seperti itu.
Tapi yang ingin saya tuliskan, cara pandang seperti itu rawan bisa memunculkan lilitan lilitan yang menyulitkan. Mungkin juga, Abdullah Hehamahua adalah sosok yang melawan media sosial buatan non Islam.
Nah, kalau polanya seperti itu terus menerus, ya repot. Nanti pakai sabun yang buatan non muslim pun tak boleh. Plastik buatan non muslim pun ogah. Wong Alquran itu juga ada yang cetakan dari Tiongkok? Tapi saya tak tahu apakah cara pandangan mantan penasihat KPK sampai seperti itu atau tidak.
Saya hanya mengatakan, jika sampai seperti itu, maka akan makin menyulitkan diri sendiri. Saya punya pandangan, daripada memusuhi, mending memanfaatkan. Sekarang bayangkan saja, media sosial itu milik siapa? Tapi dari situlah orang mengenal banyak penceramah agama Islam. Penceramah yang sebagian memberikan ilmu yang sejuk (walaupun ada juga yang suka marah-marah).
Tapi setidaknya, melalui media yang bukan buatan orang Islam itu, ada kemanfaatan bagi orang yang haus ilmu agama. Bahkan, jauh sebelum dunia seperti saat ini, TV yang buatan entah siapa, juga memberi pencerahan agama dalam acara keagamaan.
 Tapi hak orang untuk berbicara dan berpandangan. Cuma yang lain juga punya hak untuk berbicara dan berpandangan. Jangan dunia ini didominasi satu wacana, karena nanti tak akan berwarna. Apalagi kalau wacananya dinilai tak jos.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI