Ini cerita di kampungku, di negeri nun jauh di sana. Ini cerita soal lagu dan royalti. Ya, pemerintah memutuskan lagu ada royaltinya. Intinya siapa yang memutar lagu itu, harus bayar royalti alias membayar uang. Uangnya dibayar ke negara dan kemudian didistribusikan ke pencipta lagunya.
 Radio kelimpungan, karena jualannya adalah memutar lagu. Maka, jika radio memutar lagu, harus bayar duit. Warung Yu Darkem itu juga sering mutar lagu dangdut pas jualan. Katanya untuk membunuh sepi karena warungnya sudah kalah bersaing dengan minimarket.
"Hati-hati yu, bisa kena royalti kalau jualan sambil mutar lagu," kataku.
Yu Darkem belingsatan. Ngomongnya ngga keruan. Tapi, aku males nulis apa yang dia omongkan. Ya bisa ditebak sendiri, dagangan dihajar, telinga dihajar.
Bahkan, hajatan pun dan ada lagunya, maka bayar royalti. Misalnya, Pak Maman hajatan. Dia mendatangkan organ tunggal. Siapa yang menyanyi lagu populer di acara hajatan itu, maka harus bayar royalti.
Bagaimana kalau mau mendengarkan lagu dari dunia maya. Sama saja. Konsumen harus membayar secara online. Jadi kamu sekarang tak bisa mudah memutar lagu di dunia maya. Di sisi lain, kaset bajakan pun sudah tidak ada. Semua kantong kaset dan DVD bajakan, sudah dibasmi.
Intinya, sekarang tak mudah mendengarkan lagu. Sejak adanya aturan itu, kampung kami sepi. Sepi sekaligus murung. Hidup tanpa musik seperti kolam tanpa air. Kering!
Tapi sudahlah. Kami memutuskan membeli alat musik seadanya dan buat studio seadanya. Untuk apa? Ya untuk membuat lagu dan direkam. Cukup direkam di HP. Hahaha.
Tiap akhir pekan, kami lembur. Tijan dan Tukijan yang bagian buat lirik lagu. Marno dan Marto bagian membuat lagunya. Nanti Santi yang nyanyi bersama bandnya.
Seminggu kami hanya dapat mencipta satu lagu. Tapi tak masalah karena ternyata kampung lain juga melakukan hal yang sama. Artinya ada empat kampung di RW ku, maka tiap pekan ada empat lagu baru.
"Alhamdulillah, ada lagu lagi. Made in kampung. Buat mengusir sepi. Suaranya Santi lumayan juga ya," kata Yu Darkem.
Dalam sebulan, empat kampung di daerahku telah membuat 16 lagu. Wah, kampung jadi ramai. Antar kampung di tempatku saling menukar lagu. Gurih lah pokoknya.
Aku dan teman teman langsung minta desa untuk bergerak mematenkan dan mendaftarkan lagu kami ke pemerintah. Jangan sampai lagu kami diklaim dan yang dapat royalti malah mereka.
Dan benar saja, sedang dalam proses pendaftaran, lagu yang dinyanyikan Santi diklaim oleh seorang penyanyi. Diklaim bahwa itu ciptaannya dan sudah tersebar di dunia maya.
"Ini lagu ciptaan saya. Bagi yang mau bernyanyi harus membayar royalti ke saya. Membuat lagu itu membutuhkan tenaga luar biasa," kata si penyanyi itu.
Orang-orang di kampungku mendidih darahnya. Kerja keras langsung diklaim orang. Warman langsung meminta agar desa cepat mendaftarkan semua lagu anak kampung.
"Setelah itu, siapa yang menyanyi lagu kampung ini, harus bayar royalti," kata Warman berapi-api. Aku hanya geleng-geleng kepala. Aku jadi ingat pernyataan tokoh dunia, cuma aku lupa namanya, yakni "jika sudah menyangkut uang, semua orang agamanya sama".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H