Dua orang mantan kepala desa, Tarno dan Warno, memupuk dendam tak berkesudahan. Kedua orang itu bertarung di pilkades puluhan tahun lalu.
Saat kesempatan pertama, Tarno yang menang. Saat Tarno jadi kepala desa, Warno terus mengkritisi. Tarno tak terima terus dikritisi, akhirnya cerita melebar ke mana-mana.
Persaingan tak sehat mencuat. Padi milik Warno dibakar oleh orang suruhan Tarno. Padi milik Tarno juga dibakar oleh orang suruhan Warno. Bukan hanya padi, tapi warung kedua orang itu bersaing tak sehat karena saling memburukkan.
Di pilkades selanjutnya giliran Warno yang menang. Polemik semakin buka-bukaan. Di forum terbuka keduanya sering adu argumen. Menjadi masalah karena masalah pribadi diusik. Mereka saling usik masalah pribadi masing-masing.
Saat Warno menjadi kades, anak Warno bernama Susi memadu kasih dengan anak Tarno bernama Anto. Hubungan pemuda pemudi itu diharapkan bisa meredam perseteruan sang ayah. Namun, malah yang terjadi sebaliknya.
Cinta Susi dan Anto kandas karena orangtua mereka tak menyetujui. Buyar. Akhirnya Susi dan Anto bisa menerima keadaan dan menikah dengan orang lain. Hubungan Susi dan Anto tetap baik, sampai kemudian rumah keduanya bersebelahan.
Warga desa males dengan perseteruan Warno dan Tarno. Akhirnya, kedua sosok itu hanya sekali jadi kades. Tapi, dendam kesumat itu tak pernah padam.
Apalagi, jika keduanya menginap di rumah anak masing-masing yang berdekatan itu. Dari balik kamar mereka saling menyerang.
"Ngomong kata 'demonstrasi' saja belepotan, sana sekolah TK lagi," kata Warno dengan teriak.
Maklum saja, Tarno memang sering payah kalau mengatakan kata-kata tertentu. Dia pernah menyebut "demonstrasi" dengan "kelontrasi" yang membikinnya dibulli.
"Kamu, sekolah saja nilai matematikanya 3," kata Tarno membalas Warno juga dengan suara keras.
Bising sekali kedua manusia itu. Mereka tak punya malu. Selain di tempat itu, pada forum di desa, berpapasan, di mana saja, jika keduanya bertemu maka adu mulut dan mengungkit masing-masing kesalahan di masa lalu.
Perseteruan itu berjalan sampai 20 tahun. Warga desa dan anak anak mereka sangat jengah. Mungkin kedua pak tua itu juga sudah stress saling serang. Sampai akhirnya keduanya lumpuh tak bisa jalan.
Warno dan Tarno juga ngomongnya mulai tak jelas. Mereka memakai kursi roda. Tapi tetap saja jika bertemu mereka beradu mulut. Menyedihkan lah.
Akhirnya Susi dan Anto membuat bangunan kecil yang nyaman. Ada pendingin ruangan dan dibuat kedap udara. Setiap jam 9 pagi, Warno dan Tarno dimasukkan ke ruang itu, tentu bersama kursi rodanya.
Di ruang kedap itu, keduanya saling serang dengan bahasa yang tak jelas. Nanti kalau jam 12, keduanya disuapi. Setelah makan keduanya dipersilakan ibadah dengan cara yang terbatas di ruang berbeda.
Saat pukul 13.00, mereka kembali dimasukkan dalam ruangan. Warno dan Tarno saling mencaci dengan bahasa yang mungkin antarmereka tak saling mengerti.
Setiap hari rutinitasnya seperti itu. Umur Warno dan Tarno sangat panjang. Mereka sampai 150 tahun. Melanjutkan hari-hari dengan perseteruan di ruang kedap suara itu.
Susi dan Anto sudah meninggal. Maka, tugas cucu-cucunya lah yang membawa ke ruang kedap itu tiap harinya. Saat cucu meninggal, gantian cicit mereka yang membawa ke ruang kedap itu. Dengan suara yang sangat tak jelas, Warno dan Tarno masih berseteru. Mereka saling pandang dengan gerakan kepala yang lambat karena dimakan usia. Mereka terus berpolemik. Sampai kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H