Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Museum SBY dan Presiden yang Ingin Dikenang

18 Februari 2021   06:30 Diperbarui: 18 Februari 2021   06:35 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Susilo Bambang Yudhoyono. Foto kompas.com/andreas lukas altobeli

Museum SBY dan Presiden yang Ingin Dikenang

Aku menulis berdasarkan ingatan. Sesuai dengan ingatanku. Jika aku tak ingat, maka aku tak akan menuliskannya.

Geger soal Museum Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pacitan. Geger karena ada dana pemerintah untuk membangun museum itu. Warganet berkomentar miring.

Salah satu yang mengemuka, di masa corona yang sulit ini, kenapa duit rakyat untuk membangun museum "pribadi". Ya istilahnya begitu.

Tapi aku tak mau masuk pro dan kontra soal dana APBD museum itu. Aku hanya ingin menulis soal presiden yang ingin dikenang. Bagi saya SBY adalah sosok yang ingin dikenang.

Setahu saya, dia pernah bilang, tak ada mantan presiden. Presiden tetap presiden. Mungkin sebutannya presiden pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Yang repot kalau presiden ke 132 atau bilangan yang mulai banyak.

"Presiden Indonesia ke 132....", repot ya sepertinya. Tapi ya begitulah pandangan SBY. Saya memetik pesan, bahwa Pak SBY ini ingin selalu dikenang sebagai presiden.

Museum SBY, adalah salah satu bentuk keinginan SBY untuk dikenang. Dikenang sebagai Presiden Indonesia ke enam. SBY bagi saya adalah sosok yang ingin selalu dikenang. Dikenang melalui bangunan yang prestisius, dikenang melalui sesuatu yang mahal dan berkelas. Bahkan mungkin SBY adalah sosok yang ingin selalu dirindukan. Mungkin begitu. Apakah Anda rindu dengan pemerintahan SBY? Jawab sendiri di hati.

Saya jadi ingat Soeharto, mantan Presiden Soeharto. Sepertinya The Smile General itu adalah sosok yang 11 12 dengan SBY. Sosok Soeharto juga ingin dikenang. Tapi tak pernah mengutarakan secara langsung. Ingatlah bagaimana uang Rp 50 ribu yang dulu itu, ada gambar Soeharto dengan julukan Bapak Pembangunan.

Soeharto mungkin juga sosok yang ingin dikenang lewat sesuatu yang monumental. Ingin dikenang sebagai Presiden Indonesia.  Saya pernah baca ada juga bukit Soeharto. Apakah itu terkait Soeharto Presiden kedua RI?

Soekarno, Presiden Pertama RI, saya tak paham. Megawati Soekarnoputri, saya juga tak terlalu paham. Apakah dia ingin dikenang melalui sesuatu yang monumental?

BJ Habibie, saya hanya meraba saja. Sepertinya Presiden Indonesia ketiga itu tak terlalu punya hasrat besar untuk dikenang. Mungkin begitu.

Gus Dur, saya cuma tahu bahwa dia ingin dikenang di nisannya dengan tulisan "seorang humanis," bukan "seorang presiden". Soal Gus Dur ini saya ketahui dari pernyataan Khofifah Indar Parawansa dalam sebuah wawancara.

Jokowi? Saya tak paham. Apakah ada bangunan monumental dengan nama Jokowi? Apakah Jokowi ingin selalu dikenang sebagai presiden melalui bangunan yang wah? Saya tak tahu.

Yang pernah saya tahu (dari pernyataan Ustaz Yusuf Mansyur) dengan "bercanda", Jokowi ingin kerja di paytren saja setelah tak jadi presiden.

Ah sudahlah. Yang pasti, tanpa bangunan monumental, orang akan dikenang karena keberaniannya, kemampuannya, dan momen yang tepat.

Menjadi ingin dikenang dengan wah, menjadi ingin dikenang, menjadi tak ingin dikenang, itu adalah pilihan. Pilihanmu. Tapi kenangan itu menjadi kesan dari orang-orang di luar dirimu.

Kalau kau jadi pemimpin kebanyakan mengeluh, ya kau tak akan pernah dikenang. Soal pemimpin mengeluh ini, aku tidak sedang menyindir siapapun lho ya, tak juga presiden-presiden kita.

Kalau jadi pemimpin tak berani, ya kau tak akan dikenang. Kalau jadi orang baik dan dikenang, tak perlu harus jadi pemimpin. Pemimpin itu soal menggunakan kekuatan dengan benar.

Jika pun kehebatanmu ditenggelamkan oleh kekuasaan, zaman akan menolongmu. Kelak di masa berbeda, namamu akan harum karena layak mendapatkan wewangian karena kepemimpinanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun