Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Fabel, Tikus Berniaga

7 Januari 2021   10:16 Diperbarui: 7 Januari 2021   10:43 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah cerita tikus yang berniaga, berjualan. Dia jualan di pasar yang penuh dengan tikus karena penjual dan pembelinya adalah tikus. Ini adalah cerita dunia tikus. Tikus berniaga ini bernama Heh. Tidak terlalu jelas nama lengkapnya. Namun, semua tikus di pasar menyebutnya dengan Heh.

Heh ini pemain baru di pasar. Awalnya dia hanya jualan di emperan pasar. Karena dinilai melanggar aturan, Heh diusir oleh tikus kepala pasar. Namun, rezeki bagi Heh. Sebab, ada tikus lain yang memutuskan pensiun sebagai pedagang. Tikus yang pensiun itu memiliki lapak di pasar.

Si tikus yang pensiun, mengaku sudah malas hidup di pasar. Dia ingin mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dia tak mau kerja lagi di pasar. Lalu, lapaknya diberikan pada Heh. Heh diminta untuk meneruskan kontrak lapak.

Heh kemudian mulai menempati lapak di pasar itu. Dia jual macam-macam makanan ringan. Di hari pertama jualan di lapak, Heh langsung didatangi Sam, seekor tikus yang juga preman di pasar itu. Sam menjelaskan bahwa semua tikus yang punya lapak harus setor tiap akhir pekan. Heh kemudian menyanggupinya.

Namun, bukan hanya Sam yang meminta jatah. Kepala pasar juga meminta jatah retribusi tiap  akhir pekan. Biaya yang lain adalah kebersihan, arisan, dan tetek bengek lainnya. Anehnya, di hari pertama menempati lapak, Heh harus mendapatkan perizinan dari tikus pemberi perizinan.

"Lho kan lapak ini sudah ada di pasar. Pasar ini dibangun tentu sudah ada izinnya kan? Kenapa harus membayar perizinan?" kata Heh pada tikus petugas perizinan.

"Ya kalau tak mau membayar perizinan, besok tak perlu di lapak ini lagi," kata tikus petugas perizinan.

Heh pusing juga diberi ultimatum seperti itu. Dia sebenarnya mau melawan. Tapi dia ingat anak istri di rumah. Daripada berurusan panjang, dia memilih membayar tikus yang mengurus perizinan.

Heh kemudian curhat pada tikus lain yang punya lapak. Tikus-tikus lain bahkan cerita, pemerasan akan terjadi lebih banyak lagi pas masa jelang pemilihan kepala daerah tikus. Pedagang diminta dana dan suara.

"Kalau pemerasan makin banyak kenapa kamu masih bertahan jualan di sini?" tanya Heh pada koleganya.

"Kalau tidak jualan di sini mau ngapain. Sawah sudah dikapling gerombolan tikus sawah. Kantor dan perumahan sudah dikapling gerombolan tikus kantor dan perumahan. Aku mau kerja apa? Jadi tikus gelandangan? Kan repot bro," jelas si kolega Heh.  

"Kalau pungutan liar sebegitu banyaknya, lalu kita-kita ini untung dari mana?" tanya Heh yang polos.

"Ya untung dari memeras konsumen lah. Alat timbangan itu diakali supaya menguntungkan kita. Buat makanan dengan bahan yang murah. Pakai bahan cat juga tidak masalah. Yang penting kita untung bro," kata si kolega.

"Wah ngaco kamu!"

"Terus mau bagaimana? Kita ini bertanggung jawab pada keluarga kita kan. Salah kalau kita tak bertanggung jawab pada keluarga kita. Kita harus memberi makan pada keluarga kita!"

"Tapi bukan begitu caranya!"

"Lalu bagaimana?"

Si Heh hanya diam seribu bahasa.

***

Si Heh lalu dia memikirkan membuat perkumpulan pedagang untuk melawan segala macam pungli. Dia tak mau bersimbah dosa dengan menjual barang dagangan yang menipu konsumen. Dia secara diam-diam mengumpulkan para tikus pedagang. Malam-malam Heh mengobarkan semangat perlawanan agar segala macam pungli dihilangkan.

Tapi Heh langsung kena ciduk aparat tikus. Dia dilaporkan oleh koleganya sendiri dalam kasus penipuan.  Tikus makan tikus. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun