Aku tak berubah untuk urusan ini. Di Kompasiana beberapa bulan yang lalu, aku pun tak sepakat dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelas I, II, dan III. Saat itu untuk kelas III kenaikan ditanggung pemerintah sehingga iuran tidak naik.
Kini, aku tetap sama, tak sepakat dengan kenaikan BPJS Kesehatan kelas III. Memang sebenarnya bukan kenaikan, tapi subsidi dari pemerintah yang dikurangi. Tapi faktanya tetap saja iuran yang dibayarkan peserta BPJS Kesehatan kelas III mengalami kenaikan.
Alasan paling mendasar saya tak sepakat adalah soal situasi ekonomi. Pandemi telah mengubah wajah ekonomi. Ada pemutusan hubungan kerja, bisnis yang seret, pemotongan gaji, dan beberapa hal lain.
Pagi tadi saya juga ngobrol dengan pelaku usaha kecil, seorang perajin tempe. Dia juga mengaku situasinya makin berat. Sebab, harga kedelai naik. Kedelai diketahui adalah bahan baku pembuatan tempe.
Melonjaknya harga kedelai bikin teman tersebut menjerit. Tentu saja menjerit dalam arti tak sebenarnya. Menjerit dalam arti kesusahan yang mendalam.
Di situasi sulit, berusaha pun dihantam fenomena kenaikan harga barang impor. Oiya kebutuhan kedelai nasional banyak ditopang dari impor. Hasil kedelai lokal tak melimpah sehingga perlu impor.
Cerita perajin tempe itu hanya salah satu fakta kesulitan di masa pandemi. Masih banyak cerita lain. Sebagian mereka adalah warga yang secara ekonomi pas-pasan.
Jika mereka ikut BPJS Kesehatan kelas III, maka sebulan harus menambah biaya Rp 9.500 untuk satu orang. Jika anggota keluarga ada empat, berarti ada penambahan biaya Rp 38.000. Bagi sebagian orang, uang segitu tak terlalu memberatkan. Tapi bagi saudara yang pas-pasan ekonominya, tentu agak sulit.
Keputusan pemerintah sudah dibuat. Suara saya yang tak seberapa ini juga tak akan mengubah keadaan. Saya sudah sadar sejak sebelum menulis ini bahwa suara saya mustahil mengubah keadaan.
Tapi suara ini perlu diungkapkan. Untuk membuktikan bahwa ada yang tak sepakat dengan kebijakan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan kelas III. Untuk menjadi salah satu pewarna kecil sekali di tengah kebijakan pemerintah.
Saya pun mengungkapkan ini karena ingin mengungkapkan ini dengan sesadar-sadarnya. Lagipula saya tak punya kepentingan politik dan kekuasaan. Karena memang bukan politikus dan bukan  penguasa. Hanya orang biasa saja. (*)