Hari ini, 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri. Kalau santri dimaknai adalah mereka yang pernah belajar di pondok pesantren, maka saya tak termasuk santri. Sebab, saya tak pernah belajar di pondok pesantren.
Tapi, jika santri adalah siapapun yang belajar agama Islam pada guru yang tepat, maka saya pun termasuk santri. Kalau menurut saya, guru agama Islam yang tepat adalah yang memiliki garis keilmuan yang jelas.
Saya, adalah anak kota yang semi desa. Zaman tahun 80-an, saya pikir yang namanya kota itu hanya kota besar saja. Kalau kota kecil, saya pikir masih terdefinisi sebagai desa. Apalagi, mainan saat kecil ya mainan anak desa. Main layang-layang, petak umpet, main bola kala hujan.
Saat masih kecil, saya mengaji di surau selepas Maghrib. Zaman dahulu, mengajar anak itu agak keras. Keras dalam artian tidak main fisik. Dulu kalau saya salah lafal bacaan Alquran, maka ada pukulan keras yang terdengar di meja. Sang guru memukul meja pakai tongkat kecil. Kalau kamu tak siap mental, kamu bisa kaget. Karena tiba-tiba ada suara meja dipukul sangat keras.
Ada dulu teman yang kalau mengaji jarang sekali naik. Sebab, dia sering salah membaca. Maka, kadang guru kami memukul mejanya berkali-kali. Semua terdiam dan hening.
Dulu tiap malam Jumat di surau kami ada barzanji. Satu ketika bapak dari guru kami, yang juga guru mengaji memberi pernyataan. "Pokoknya yang belum bisa baca barzanji, jangan ikut barzanji. Hanya bikin ribut saja," begitu petuahnya.
Maklum, anak kecil kalau ikut barzanji hanya ikut senang senang dan ribut. Lalu, yang paling ditunggu adalah pembagian makanan di akhir acara. Karena petuah itu, anak-anak kecil tak ada yang berani ikut barzanji.
Kami seperti itu dididik. Tidak lembek tapi juga tidak keras sekali. Anak yang mengaji di surau kami pun tak hanya anak di kampung kami. Banyak anak kampung sebelah mengaji di surau kami. Satu bukti bahwa guru kami diakui keilmuannya.
Kami mengaji bertahun-tahun. Dari alif, ba, ta sampai membaca kitab-kitab tertentu. Seingatku, semua anak seumuranku yang mengaji sampai tuntas di guru kami, bisa membaca Alquran. Aku bersyukur menjadi salah satu di antaranya.
Dan kau tahu, bertahun-tahun kami mengaji, kami tak pernah diminta upeti. Tak pernah sama sekali. Kami tak pernah membayar kiai kami. Kiai kami memberikan ilmu begitu saja. Ya begitu saja. Aku tak pernah menganggap itu hal yang aneh.
Kini, ketika usia bertambah, aku berusaha mengaji. Khususnya mengaji kitab-kitab klasik. Tentunya bersama teman-teman yang tua juga. Mengaji bersama dengan seorang guru. Cuma karena Covid-19 aku sudah lama sekali tak mengaji.