Nirin memang suka dengan bau tembakau. Dia sering membawa dan menghisapnya. "Politik itu seperti pagi dan malam. Kadang teman besok lawan. Dulu walk out kini tidak. Dulu tidak walk out, kini walk out," kata Nirin.
Nirin jeda lagi sembari minum kopi yang tinggal sedikit sekali dan penuh ampas. Saat Nirin meminum kopi itu, Siti menggebrak meja. Kontan Nirin kaget, kopi sisanya tercecer.
"Dulu PDIP walk out, kini Demokrat walk out. Kamu kapan walk out? Sudah satu jam nerocos ngga keruan. Cape tahu ndengerin kamu ngomong. Pacar bukan, saudara bukan, tapi tiap malam Minggu ke sini," kata Siti.
"Perlu kamu tahu ya Mas, aku menerimamu jadi tamu karena menghormati bapak. Sekarang bapak sudah tidur nyenyak. Kapan kamu walk out!" Kalimat terakhir Siti seperti petir di siang bolong
Nirin benar-benar tak berkutik, sekalipun saat marah manisnya Siti makin terlihat. Nirin grogi, mulut dan kumisnya penuh ampas kopi. Baju putihnya tersiram air kopi.
"Jadi kapan walk out-nya!" kata Siti lagi sembari menggebrak meja. Nirin pamit, dia ambil topi dan memakainya. Topi berwarna merah dengan logo dan tulisan "Tut Wuri Handayani" di bagian depannya.
Nirin pergi, dia ingin ke rumah Sinta. Siapa tahu Sinta mau diajak nikah tahun ini. (*)