Saat saya merantau dan indekos, fenomena itu belum selesai. Satu kali, rintihan saya terdengar oleh bapak kos, maklum karena kamar hanya dipagari triplek. Lalu, si bapak itu membuka pintu kamar dengan agak keras dan membangunkan saya.
Jika sudah terbangun, maka badan akan sangat terasa lemas dan napas tersengal. Ketika sudah terbangun, saya akan berusaha untuk duduk. Sebab, jika baru saja terbangun setelah "ketindihan" lalu tertidur lagi, biasanya "ketindihan" itu berlanjut ke episode selanjutnya. Â Ini mungkin aneh dan lucu, tapi memang kadang seperti itu.
Ketiga
Ada dua situasi yang saya rasakan sebelum mengalami ketindihan. Situasi pertama adalah situasi yang tak bisa diduga. Jadi, ketindihan itu terjadi begitu saja ketika saya baru saja tertidur.Â
Situasi kedua adalah perasaan yang sangat kuat sebelum tidur bahwa saya akan mengalami ketindihan. Perasaan yang kuat itu menjadi pengantar ke situasi horor itu.
Situasi yang pertama tentu tak bisa diantisipasi. Nah, kalau situasi kedua saya beberapa kali melakukan antisipasi. Dulu di tahun 90-an itu, satu ketika saat perasaan akan ketindihan itu sangat kuat, maka mengambil tasbih dan mengalungkan di leher. Yang terjadi, saya benar-benar ketindihan dan tasbih itu seperti mencekik saya.
Antisipasi yang kedua adalah saya memegang kitab suci. Intinya saya tertidur dengan membawa kitab suci. Jika itu saya lakukan maka saya terbebas dari ketindihan. Kenapa itu bisa terjadi? Saya tak bisa menjelaskannya.
Tapi ya itu. Bahwa situasi ketindihan itu tak selalu diawali dengan perasaan yang kuat. Di sisi lain, kadang kita tertidur ketika kita tak ingin tidur. Misalnya, menonton TV lalu tertidur.Â
Situasi seperti itu membuat ketindihan tak selalu bisa diantisipasi. Bisa datang dengan tiba-tiba. Tak mesti berapa kali saya mengalaminya dalam satu bulan.Â
Bahkan, bisa juga dalam satu bulan tak mengalami sama sekali. Ketindihan itu tak hanya terjadi saat tidur di malam hari, tapi juga bisa terjadi saat tidur di siang hari.
Keempat