Sore yang pening. Di sebuah rumah makan, Tyo gelisah dan memikirkan cara kerja Anto di Dinas Kelautan. Anto adalah kepala dinas yang baru lima bulan menjabat. Sementara Tyo sudah bangkotan sebagai sekretaris dinas.
Tyo tak suka dengan kerja Anto yang main suruh. Anto juga main lapor ke yang berwenang dalam promosi dan mutasi agar anak buah yang tak sejalan dengannya dimutasi. Lima bulan jadi kepala dinas, sudah ada 10 yang dimutasi. Dimutasi di tempat "lebih kering".
"Kalian kalau tak mau kerja sama denganku, aku tenggelamkan!" Kata Anto pada jajarannya pagi tadi, termasuk pada Tyo.
Belakangan duit-duit tak jelas itu memang murni dikuasai Anto. Jadi semua masuk kantong Anto. Tapi memang uang itu oleh Anto dibagi rata pada para staf bawahan. Sementara level pimpinan kering tak dapat apa-apa.Â
Tyo dan pimpinan lainnya kekurangan pemasukan uang tak jelas. Tak seperti kepala dinas sebelumnya yang royal membagi uang tak jelas pada para pimpinan.
"Ada orang yang bisa digerakkan untuk demo?" Kata Tyo pada Arman, koleganya di Dinas Tenaga Kerja saat pertemuan sore di rumah makan itu.
"Anto makin ngaco dan merasa sangat berkuasa. Semua dia ancam. Jatahku pun berkurang. Aku butuh gerakan untuk mendemo Anto," lanjut Tyo.
"Owh, aman. Aku ada teman. Sardi namanya. Orator ulung. Dia bisa menggerakkan sampai 1.000 orang. Satu orangnya dihargai Rp 50 ribu. Itu untuk satu jam aksi. Kalau lebih dari satu jam biaya tentu membengkak," ujar Arman.
"Wah, ya ngga perlu 1.000 orang. Halaman kantor itu kan tak besar, mepet dengan jalan pula. Paling 100 orang cukup. Kalau 100 orang berarti Rp 5 juta ya?" Kata Tyo.
"Ya Rp 5,2 juta. Yang Rp 200 ribu untuk Sardi. Itu harga teman. Kalau kamu oke, kamu bilang saja isunya apa, nanti aku catat. Lalu kita ketemu Sardi dan dia orangnya mudah paham. Bagaimana?" Kata Arman.
"Oke besok di tempat ini kita ketemu. Panggil sekalian Sardi. Uang aku langsung beri besok. Bagaimana?" Kata Tyo.