Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Sepak bola Argentina

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Buat RCTI, Zaman Memang Kejam

31 Agustus 2020   12:16 Diperbarui: 31 Agustus 2020   16:44 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Mgn online dipublikasikan kompas.com

Kini, manusia dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan. Tak peduli bagaimana latar belakang tiap orang. Tak menyesuaikan diri, maka berpotensi terlindas. Itulah zaman sekarang, zaman yang kejam.

"Perlawanan" RCTI dengan uji materi di MK adalah bagian melawan zaman. Ada yang mengapresiasinya, tapi sepertinya banyak yang tak sepakat. RCTI dan INews intinya minta agar MK menyamakan siaran TV dengan YouTube dan sejenisnya itu. Sederhananya jika ada yang ingin siaran via YouTube dan sejenisnya itu harus memiliki perizinan seperti stasiun televisi yang punya perizinan.

Jika uji materi yang diajukan RCTI dan INews dikabulkan, maka tak akan ada lagi siaran di YouTube, kecuali sudah memiliki izin. Tahu sendiri, mengurus izin penyiaran tidak mudah dan berbiaya. Jika seperti itu, penonton akan kekurangan tontonan di YouTube dkk dan penonton diharapkan bermigrasi kembali menonton televisi. Iklan di televisi pun membengkak.

Intinya agar penonton kembali ke televisi. Saya menduga intinya sih seperti itu. Kalau alasan mengajukan uji materi karena moral bangsa saya pikir itu bunga-bunga saja. Biar lebih heroik. 

Saya tak punya pengalaman soal pertelevisian, hanya dengar dengar saja. Tapi saya punya pengetahuan soal yang mirip-mirip dengan RCTI yang berhadapan dengan zaman yang tak bersahabat. Apa itu? Koran atau surat kabar. Saya punya pengetahuan soal koyaknya surat kabar. Sebab, saudara saya adalah seorang agen koran.

Koran adalah media massa konvensional. Untuk membuat koran membutuhkan wartawan dan redaksi. Selain itu butuh tukang cari iklan dan tukang distribusi. Saudara saya adalah distributor bagian bawah.

Saudara saya dan beberapa loper sempat bercerita soal koyaknya koran. Zaman yang semakin maju membuat orang mencari informasi dari telepon genggam saja. Orang mulai enggan mengeluarkan uang untuk membeli koran karena di telepon genggam sudah ada berita yang sama, bahkan lebih variatif.  

"Yang langganan pun mulai rontok. Mereka yang meninggal, pihak keluarganya memutuskan tak lagi langganan koran karena si anak sudah puas dengan berita di telepon genggam. Usia pelanggan menua dan meninggal, berkurang pelanggan," kira kira begitu cerita seorang loper pada saya.

Berapa keuntungan loper koran? Kalau koran misalnya harga Rp5000, mungkin loper dapat Rp500. Kalikan saja kalau pelanggannya hanya 30 orang. Kelihatan kan berapa pendapatan sebulan?

Koran adalah bisnis yang menarik banyak pekerja. Zaman dahulu bisa menyejahterakan. Namun kini, koran yang pekerjanya bisa ratusan itu, mungkin kalah pendapatannya dengan situs yang kerjanya cuma copy paste berita. Situs yang digerakkan mungkin tak sampai 10 orang.

"Kalau para loper masih mau jalan, ya usaha ini aku teruskan. Tapi, kalau mereka menyerah, aku juga menyerah," kata saudaraku getir.

Bagi mereka yang menikmati berita atau informasi dari telepon genggam, besar kemungkinan akan berujar, "makanya adaptif dengan zaman. Zaman seperti ini masih jadi loper koran. Mbok yang maju, cari kerjaan lain kan banyak," mungkin seperti itu.

Bahkan ada juga yang menyalahkan. "Salah sendiri, zaman seperti ini masih jualan koran. Ya ngga ada yang beli karena ini zaman internet," begitu.

Tapi bagi peloper? Puluhan tahun mereka menggenjot sepeda dari gelapnya pagi sampai jelang siang. Lelah tak terkira. Pekerjaan itu sudah mendarah daging. Ketika usia hampir kepala lima, dunia berubah seketika.

Ketika dunia informasi berubah, media baru tak membutuhkan tenaga loper. Karena informasi di internet memang tak membutuhkan loper, juga tak membutuhkan agen. Mereka tentu berharap bisa bertahan sebagai loper sembari mengais cerita hidup lain kala tulang makin keropos. Mereka berharap, loper akan benar-benar tak lagi ada ketika diri mereka sudah berpulang ke Yang Maha Kuasa.

***
Saya tak terlalu tahu soal televisi. Tapi, saya pikir ceritanya ya mirip koran. Televisi sudah mulai terdesak oleh YouTube dan sejenisnya itu. Televisi tentu ingin bertahan untuk mencari untung sembari memberi nafkah pada ratusan pekerjanya. Caranya dengan melawan melalui uji materi.

Orang-orang yang menolak "perlawanan" RCTI saya pikir mereka yang diuntungkan dengan adanya YouTube dan sejenisnya. Diuntungkan sebagai pembuat konten atau penonton. Tapi coba ditanya pada mereka pekerja di RCTI. Mungkin, mereka akan mendukung langkah RCTI sebab dari situlah mereka bertahan hidup.

Kedua belah pihak baik yang pro atau yang kontra dengan langkah RCTI, punya pembenar atas sikapnya. Tinggal bagaimana MK memutuskannya. Apakah akan menguntungkan RCTI dan INews atau sebaliknya. 

Lalu, bagi yang berpotensi dirugikan dari uji materi RCTI wajarnya mengajukan diri ke MK sebagai pihak terkait. Misalnya para YouTuber melalui kuasa hukumnya menjadi pihak terkait di MK. Kenapa? Agar keterangan mereka didengar hakim. Agar hakim punya perspektif lain, bukan hanya dari RCTI dan INews saja. 

Saya tak mengikuti sidang di MK, apakah sudah ada yang mengajukan diri jadi pihak terkait? Ini jalur hukum. Jika tak sepakat dengan RCTI, siapkan argumentasi di muka persidangan, bukan hanya berkoar koar di dunia maya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun