Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Semoga "Bu Tejo" Tak Jadi Label Buruk

22 Agustus 2020   12:21 Diperbarui: 22 Agustus 2020   12:12 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang sedang viral belakangan ini, yakni film Tilik. Satu tokoh yang menyedot perhatian adalah Bu Tejo. Aksinya yang senang membicarakan orang lain dan belum valid kebenarannya jadi salah satu daya tarik film Tilik. Namun, saya berharap semoga nama Bu Tejo tak jadi label buruk.

Sebelum saya tulisan hal terkait kemungkinan label buruk bagi Bu Tejo, saya akan menuliskan cerita terlebih dahulu sebagai pembanding. Dahulu di masa panas-panasnya kubu Jokowi dan kubu Prabowo berseteru, ada label bagi para pendukungnya.

Kubu pendukung Jokowi menyebut pendukung Prabowo dengan "kampret". Kubu pendukung Prabowo menyebut pendukung Jokowi dengan "cebong". Kata kampret dan cebong sama-sama dinistakan. "Cebong" memandang "kampret" sebagai yang buruk dan "kampret" memandang "cebong" sebagai yang buruk.

Padahal, apa itu cebong dan kampret? Kan itu adalah nama hewan dengan perilakunya masing-masing. Saya memaknainya ya netral saja, bahwa ada hewan bernama cebong dan ada hewan bernama kampret. Tapi, karena perseteruan politik, dua kata yakni cebong dan kampter itu dimaknai negatif.

Nah, dengan viralnya nama Bu Tejo, saya berharap Bu Tejo tak jadi label buruk. Saya berharap jika sebutan Bu Tejo tak bernasib seperti cebong dan kampret. Maksud saya begini. Khawatirnya kalau ada orang yang menyampaikan sesuatu yang cenderung fitnah atau hoax, nanti disebut Bu Tejo.

Lama-lama menjadi label bahwa "Bu Tejo" berarti adalah penyebar fitnah dan hoax. Setiap orang yang suka ngegosip dan diduga hoax akan langsung disebut sebagai "Bu Tejo".

"Dasar Bu Tejo," kata seorang Ibu.

"Enak saja, namaku bukan Bu Tejo. Namaku Bu Ratna," kata Bu Ratna dengan berapi-api tak mau disebut Bu Tejo.

Parahnya, ketika fitnah dan hoax dimaknai dari sudut pandang kepentingan, itu yang merepotkan. Si ibu A karena tak suka sama si ibu B, maka setiap omongan si ibu B dikatakan hoax.

Si ibu B karena tak suka sama si ibu A, maka setiap omongan si ibu A dikatakan hoax. Si ibu A akhirnya menyebut si ibu B dengan sebutan "Bu Tejo". Tapi si ibu B tak terima. "Kamu itu yang "Bu Tejo"," kata si Ibu B kepada si ibu A.

Pusing apa tidak kalau seperti itu? Lebih kasihan lagi kalau ada istri yang nama suaminya Tejo, Gegara sebutan "Bu Tejo" sudah dilabeli buruk, dia jadi ngga enak sendiri.

"Bu maaf nama siapa bu?" kata seorang ibu,

"Bu Tejo, bu" kata Bu Tejo.

"Oooohh yang suka ngegosip itu ya?" serempak kata ibu lain dengan nama bercanda.

Wajah Bu Tejo pun memerah karena Bu Tejo yang ini pendiam dan pemalu.

Saya juga ingin menegaskan, bukan berarti saya menyalahkan filmnya. Banyak film yang memiliki peran pahlawan dan musuh. Nah, ketika ada "tokoh menyimpang" dari sebuah film ya itu hal biasa saja. Yang bermasalah adalah ketika penonton merespons "tokoh menyimpang" itu secara berlebihan.  

Maka, saya berharap nama "Bu Tejo" yang suka ngegosip hanya ada di film Tilik saja. Jangan dilebarkan ke dunia nyata. Kan kasihan sama orang yang bernama "Bu Tejo". Ya kan Bu Tejo? (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun