Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Barter Politik di Pilkada Serentak

11 Agustus 2020   20:17 Diperbarui: 11 Agustus 2020   20:19 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Pejalan kaki melintas di mural terkait pilkada. Foto: antara/fauzan dipublikasikan Kompas.com

Pilkada akan dilaksanakan serentak di banyak daerah pada 9 Desember 2020. Satu hal yang potensial muncul dalam Pilkada serentak adalah barter politik, khususnya barter calon kepala daerah.

Contoh konkretnya adalah parpol A dan parpol B barter dukungan. Parpol A akan mendukung calon dari parpol B di daerah X. Sebaliknya, parpol B akan mendukung calon parpol A di daerah Y.

Potensi ini sangat mungkin terjadi. Tentunya akan jadi nilai positif jika barter ini terkait calon yang mumpuni. Jadi baik partai A dan B sama-sama memiliki calon mumpuni. Barter di antara keduanya untuk memuluskan calon yang mumpuni tersebut.

Namun, masalah tentu akan muncul jika barter itu terkait dengan calon yang pas-pasan. Baik parpol A dan B memiliki calon pas-pasan. Barter dukungan dilakukan agar calon yang pas-pasan itu bisa menang pilkada.

Mungkin akan lebih kompleks lagi jika barter tak hanya terkait calon. Tapi juga potensi daerah. Misalnya parpol A minta jatah proyek di daerah X dengan syarat mendukung calon dari parpol B.

Kemudian, parpol B juga punya kepentingan terhadap proyek di daerah Y. Sehingga parpol B harus mendukung calon parpol A. Perhitungan-perhitungan yang kompleks dan rumit ini kadang yang memunculkan calon yang di luar dugaan.

Ketika kontestasi pilkada serentak kental dengan nuansa barter politik, maka yang dirugikan adalah pemilih. Parahnya misalnya adalah bahwa para calon yang tersedia adalah calon yang tak kompeten dari hasil barter politik.

Bayangkan saja, misalnya ada tiga pasangan calon. Ketiganya memiliki rekam jejak yang buruk. Ketiganya juga tak memiliki kemampuan manajerial yang memadai. Tapi, karena barter politik, ketiganya bisa jadi calon.

Jika ada tiga pasangan calon seperti itu, yakni tak kompeten, maka salah satu di antaranya pasti akan menang. Sekalipun angka partisipasi pemilih rendah, tetap saja salah satu calon akan menang. Sebab, kemenangan pilkada adalah mereka yang punya suara terbanyak, kecuali Pilkada Jakarta yang masih memungkinkan adanya putaran kedua.

Peran Parpol

Ketika dihadapkan potensi barter politik yang merugikan masyarakat, maka hendaknya parpol tak melakukannya. Parpol adalah arena bagi para calon pemimpin untuk digodok.

Di parpol, para kader dilatih untuk berorganisasi. Selain itu, ada keputusan-keputusan politik yang dipraktikkan dalam mekanisme organisasi di parpol. Cara pengambilan keputusan politik ini akan sangat berpengaruh ketika kader parpol jadi pemimpin daerah.

Maka, sudah sewajarnya jika parpol memiliki stok calon pemimpin daerah yang memadai. Jika banyak calon pemimpin yang memadai, maka barter politik yang negatif tak perlu terjadi. Stok pemimpin yang memadai akan membuat parpol memiliki calon pemimpin dan para kader yang mengedepankan kepentingan daerah dan nasional daripada kepentingan pribadi.

Jika ternyata parpol minim stok calon pemimpin, mekanisme di parpol tentu layak dipertanyakan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun