Belakangan, korps kejaksaan kembali disorot terkait kasus Djoko Tjandra. Khususnya soal Jaksa Pinangki yang ternyata berkomunikasi dengan Djoko Tjandra saat yang bersangkutan masih buron.
Pertemuan Pinangki dengan Djoko Tjandra membuat heboh. Selain pertemuan itu, masih gelap bagaimana cerita lengkapnya. Sebab, pengusutan masih dilakukan. Asas praduga tak bersalah harus dikedepankan.
Mendengar jaksa Pinangki, saya langsung teringat dengan Abdul Rahman Saleh. Yang bersangkutan adalah mantan Jaksa Agung yang bukan dari kalangan jaksa. Arman, begitu biasa disapa, menjadi Jaksa Agung di periode pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Arman menjadi Jaksa Agung hanya selama 930 hari. Sebab di tengah jalan dia kena reshuffle. Tulisan ini hanya ingin memberi gambaran secuil tentang pejabat negara yang tak kaya raya. Arman dulunya adalah pengacara yang juga aktivis LBH. Pernah juga jadi wartawan dan bintang film di tahun 70-an.
Kemudian, Arman menjadi hakim agung non karier. Artinya hakim agung yang profesi sebelumnya bukan seorang hakim. Salah satu yang membuat nama Arman melambung adalah ketika dia membuat pendapat berbeda dalam kasus korupsi dengan terdakwa Akbar Tanjung, Ketua DPR kala itu. Kasus itu diputus pada Februari 2004.
Putusan kasasi memang memenangkan Akbar Tanjung. Namun, dalam putusan itu, Arman memiliki pendapat berbeda dan menilai Akbar bersalah. Kemudian, setelah SBY naik menjadi Presiden karena menang Pilpres 2004, Arman ditunjuk menjadi Jaksa Agung.
Setelah 930 jadi Jaksa Agung, Arman pun kena reshuffle. Setelah tak jadi Jaksa Agung, Arman pun mengaku menganggur. Dia juga hanya punya rumah kecil di Cawang. Setelah Arman direshuffle, seorang jaksa mendatangi Arman di rumah dinas.
Jaksa itu sembari menangis meminta agar Arman tak tinggal di rumah Jalan Arus di Cawang, yang memang rumah kecil. "Apa nanti kata orang jika mantan Jaksa Agung tinggal di tempat seperti itu," begitu ucap si jaksa seperti dikutip dari buku "Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz".
Arman kemudian tak menempati rumah di Jalan Arus, karena koleksi bukunya sudah membengkak. Rumah di Jalan Arus itu pun tak bakal muat menampung bukunya. Akhirnya Arman meminta izin pada Jaksa Agung Hendarman Supanji agar bisa di rumah dinas untuk sementara.
Kemudian, Arman pindah di kompleks Kejaksaan. Masalah rumah itu akhirnya usai setelah Ibu Arman yakni Maryam, memerintahkan seluruh keluarga turun tangan memikirkan rumah yang layak bagi Arman.
Menjadi hakim agung dan menjadi Jaksa Agung, bukanlah jabatan sederhana. Itu jabatan super rumit dan prestisius. Di tengah prestisiusnya jabatan, ada cerita lain dari Arman yang menggambarkan bagaimana dia memang tak kaya raya.
Ada banyak cerita tentang kesederhanaan mereka yang pernah menjadi orang penting. Ada Hoegeng yang juga tak kaya raya dan dikenal berintegritas. Dia adalah sosok polisi yang sering jadi contoh.
Dahulu, juga ada Saifuddin Zuhri, Menteri Agama yang setelah tak menjabat, mau berdagang beras. Bahkan dari beberapa tulisan yang saya baca, Saifuddin Zuhri menolak adiknya untuk bisa naik haji atas biaya dinas, sekalipun sang adik memenuhi syarat.
Banyak cerita dari mulai atas sampai bawah soal orang-orang yang punya integritas. Hanya saja memang, cerita itu tenggelam ketika hiruk pikuk berita pejabat korup bermunculan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H