Hadi Pranoto dan musisi Anji dilaporkan ke polisi oleh Ketua Umum Cyber Indonesia Muannas Alaidid. Keduanya dinilai menyebarkan berita bohong karena dalam wawancara di kanal YouTube Anji, Hadi diklaim menemukan obat untuk Covid-19. Tapi, tulisan ini tak akan membahas soal Covid-19. Tulisan ini akan membahas soal murahnya sebuah gelar.
Anji, yang mantan vokalis Drive itu, menyematkan gelar profesor pada Hadi Pranoto. Belakangan Hadi mengaku bahwa dia bukan profesor. Sayangnya pengakuan itu tak dilakukan saat wawancara di kanal YouTube Anji. Pengakuan diberikan setelah konten di YouTube itu meledak.
Setahu saya untuk menjadi professor salah satunya harus berpredikat doktor. Â Jadi seorang profesor harus lulus SD atau setara, SMP atau setara, SMA atau setara, S1, S2, dan S3.
Bayangkan berapa waktu yang harus ditempuh di sekolah untuk menjadi profesor. SD sampai SMA katakana saja 12 tahun. S1 sampai S3 katakan saja paling cepat delapan tahun. Maka, untuk jadi profesor saat ini harus sekolah 20 tahun. Â
Itu baru persyaratan sekolah. Setahu saya ada persyaratan lain seperti membuat jurnal ilmiah internasional yang bereputasi.Â
Untuk bisa membuat jurnal ilmiah di level internasional bukan perkara mudah. Belum lagi persyaratan lainnya. Jadi, professor itu bukan gelar yang bisa didapatkan dengan sebutan saja. Memerlukan perjuangan yang panjang.
Jika setiap orang disebut profesor dengan mudah, maka itu telah meminggirkan kerja keras para profesor selama ini. Artinya lagi, dengan mudah mengabaikan fakta bahwa untuk menjadi profesor harus melalui beberapa tahap yang berat. Tega kamu ya!
Sebagian kita sangat murah memberi gelar pada orang. Sangat murah sekali. Asal bisa bicara panjang lebar, biasanya langsung diberi gelar. Ini menjengkelkan. Menjengkelkan dalam konteks dunia akademis dan menjengkelkan dalam konteks kebiasaan.
Coba saja lihat dalam cerita yang lain. Orang yang tak paham agama Islam, langsung diberi sematan ulama. Padahal, jadi ulama itu harus paham banyak hal soal agama Islam.Â
Dia bisa membaca Alquran dengan benar. Paham tafsir Alquran. Dia mengerti fiqih dengan dasar dan referensi yang jelas. Dan masih banyak lagi.Â
Sekarang, bagaimana orang yang membaca Alquran dengan serampangan disebut ulama. Orang yang tak mengerti tata bahasa Arab dan serampangan mengungkapkannya disebut ulama?
Itu hanya dua saja soal profesor dan ulama. Masih banyak di area kita yang dengan mudah menyematkan gelar pada seseorang. Gelar yang tentunya harus didapatkan dengan cara yang tak mudah.
Kita telah mengabaikan proses-proses untuk mendapatkan gelar itu. Mau jadi apa jika masing-masing dari kita sangat mudah memberi gelar pada orang yang tak jelas? Atau mau jadi apa jika kita menyebut orang dengan gelarnya tanpa verifikasi terlebih dahulu? Â
Kini, orang dengan mudah berbicara. Sebab, sudah banyak kanal yang tersedia. Orang yang tak paham apa-apa bisa ngoceh di media sosial. Salahkah? Dalam konteks kebebasan berpendapat tentu tidak salah.Â
Namun, perlu ditegaskan bahwa kita bisa menyaring siapa yang kompeten dan siapa yang tak kompeten. Kita bisa menyaring apa latar belakang orang yang bicara itu.
Jika kita sudah memiliki alat saring yang bagus, maka kita tak mudah menyebar informasi dari orang yang tak jelas.Â
Jika kita punya alat saring yang bagus, maka orang-orang abal-abal itu tak akan bisa eksis. Dia akan tenggelam dengan cepat. Masalahnya, kita punya alat saring yang bagus atau tidak? (*) Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H