Hari ini, 24 tahun yang lalu, kerusuhan 27 Juli (Kudatuli) pecah di Jakarta. Kudatuli dinilai sebagai awal goyahnya Orde Baru. Selain itu, Kudatuli juga melambungkan nama Megawati Soekarnoputri. Ada juga nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disebut.
Kudatuli adalah kasus penyerangan kantor PDI di tahun 1996. Kala itu ada dualisme di tubuh PDI yakni pimpinan Soerjadi yang didukung pemerintah kala itu dan Megawati Soekarnoputri. Massa Soerjadi mengambil alih kantor PDI yang diduduki massa Megawati di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat.
Pengambilalihan kantor PDI itu membuat kerusuhan, korban pun berjatuhan. Kudatuli dinilai sebagai awal goyahnya Orde Baru. Kesadaran massa PDI Megawati untuk melawan pemerintah tercermin di kejadian ini. Mimbar bebas pun terjadi setelah bentrok pada 27 Juli pagi itu.
Seperti dikutip dari Kompas.com, mimbar bebas itu kemudian berubah menjadi bentrokan antara massa dan aparat pemerintah.
Nama Megawati pun melambung sebagai simbol perlawanan terhadap Orde Baru. Sampai kemudian terjadi Reformasi pada 1996 dan di 1999, PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri memenangkan pemilu. Â Â
Kasus Kudatuli ini juga membuat Budiman Sudjatmiko dijebloskan ke penjara oleh Orde Baru. Budiman dan Partai Rakyat Demokratik- nya dinilai sebagai otak dari kasus Kudatuli. Banyak yang menilai bahwa Budiman hanya dijadikan kambing hitam. Seperti diketahui, pada akhirnya Budiman dibebaskan.
Dari kasus Kudatuli itu, hanya membuat seorang buruh bernama Jonathan Marpaung sebagai yang bersalah di muka pengadilan. Sementara, siapa otak di belakang kasus itu tak pernah jelas. Sementara, berapa jumlah korban yang pasti juga tak pernah jelas.
Polemik Jelang Pilpres
Kasus Kudatuli itu tak pernah terselesaikan dengan gamblang. Bahkan, pada 2018 lalu, Kudatuli membuat perang pernyataan antara kader PDIP dengan Partai Demokrat. Kala itu, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto meminta SBY mengungkap tabir kasus Kudatuli. Hasto menilai bahwa SBY memiliki informasi penting dalam kasus Kudatuli itu mengingat saat kejadian, SBY masih aktif di militer.
Pernyataan Hasto ini kemudian ditanggapi oleh Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik. Rachland menilai bahwa apa yang diungkapkan Hasto dan PDIP bernuansa politis. Rachland saat itu menilai bahwa apa yang dilakukan Hasto dengan melapor ke Komnas HAM terkait Kudatuli adalah upaya politik yang sudah kesiangan.
Bahkan, Rachland menilai jika Kudatuli hanya dijadikan ritual politik untuk menyebut nama SBY. Menurut Rachland, PDIP saat Megawati menjadi Presiden bisa mengungkap kasus itu dengan jelas. Diketahui, saat Kudatuli, posisi SBY adalah Kepala Staf Komando Daerah Militer Jaya.
Sekalipun saat 1996 berseberangan, nyatanya Megawati dan SBY pernah satu ruang di pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Bahkan, saat Megawati menjadi Presiden, SBY juga ditunjuk menjadi Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan.
Namun, hubungan Mega dan SBY merenggang ketika keduanya berkontestasi di Pilpres 2004. Saat itu, SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla mampu mengalahkan pesaing lainnya, termasuk pasangan Megawati-Hasyim Muzadi.
Uniknya lagi, pada 2014, JK yang 10 tahun sebelumnya berseberangan dengan Megawati, kemudian menjadi satu kubu dengan Megawati. Sebab, JK menjadi Wakil Presiden bagi Presiden Joko Widodo. Itulah politik, teman dan lawan bisa berubah.
Dengarkan Korban
Kasus-kasus yang terjadi di masa lalu memang menjadi kenangan yang pahit, khususnya keluarga korban. Wajarnya kasus di masa lalu memang diselesaikan dengan tuntas seperti keinginan dari pihak korban. Namun, persoalan mengungkap kasus masa lalu selalu tak mudah mengingat ada banyak faktor yang melingkupinya.
Sebuah kasus yang tak tuntas rawan jadi beban dan permainan di masa selanjutnya. Kasus yang tak tuntas kadang dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang jauh dari upaya menyelesaikan kasusnya. Bagaimana kelanjutan kasus-kasus di masa lalu, maka menjadi tugas dari para pembuat kebijakan.
Kita? Sebagai warga biasa perlu memetik pelajaran dari kasus kerusuhan di masa lalu. Kita sebagai warga biasa baiknya menjaga diri, mengukur setiap langkah yang tepat. Jangan kemudian masuk dan terjerumus dengan potensi kekerasan dan konflik berdarah. Apalagi, di masa sulit seperti ini, potensi munculnya kerawanan sosial sangat besar. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H