Pilkada serentak akan dilaksanakan pada Desember tahun ini. Salah satu isu yang mengemuka di pilkada serentak tahun ini adalah soal politik dinasti. Dinasti politik ini sederhananya adalah ketika pemimpin memiliki  saudara, anak, dan lainnya yang menjadi calon di pilkada.
Ya sederhanya adalah Presiden Jokowi yang dinilai melakukan politik dinasti. Yakni, ketika sang anak Gibran Rakabuming maju di Pilkada Solo. Sekalipun tentu saja dengan berbagai argumentasi, langkah Gibran ini oleh sebagian pihak tak dimaknai sebagai politik dinasti.
Nah, politik dinasti pada pilkada kali ini menurut saya agak diuntungkan. Sebab, saat ini adalah masa pandemi Covid-19 yang membuat aktivitas pilkada tak terjadi sebagaimana biasanya. Sesuatu yang tak biasa yang bisa menguntungkan politik dinasti.
Poin utama yang membuat politik dinasti diuntungkan adalah pembatasan sosialisasi dan kampanye. Seperti diketahui, sosialisasi di pilkada masa normal adalah bakal calon kepala daerah dengan massif ke sana ke mari.
Bakal calon akan silaturahmi ke kelompok masyarakat, menghadirkan massa yang banyak. Hal yang sama adalah soal kampanye. Calon kepala daerah bisa memobilisasi massa untuk berkampanye. Tujuan kampanye adalah agar pemilih memilih sang calon.
Nah, di masa pandemi, sosialisasi dan kampanye dibatasi. Siapa yang untung? Ya tentu adalah calon yang sudah terkenal atau calon yang karena statusnya mudah dikenal. Calon yang karena statusnya dan bisa terkenal adalah calon dari politik dinasti.
Misalnya si X maju pilkada daerah B. Si X adalah anak dari Y yang kini jadi pemimpin daerah B. Maka sosialisasi lebih mudah. Tinggal bilang saja bahwa si X anak dari Y akan maju pilkada. Dengan "menjual" nama Y, maka si X akan tersosialisasi sekalipun sosialisasi di pilkada masa pandemi ini dibatasi.
Maka, tinggal sebut saja ayahnya atau kakaknya atau pamannya atau siapa saja yang saat ini jadi petahana, calon dari politik dinasti akan dimudahkan. Sementara, calon yang baru muncul dan tak memiliki darah politik dinasti jelas akan kerepotan.
Sosialisasi yang juga bakal mudah bagi calon dari dinasti politik adalah sosialisasi di birokrasi. Misalnya kasus si X tadi, maka orang-orang di pemerintahan tahu bahwa X adalah anak dari Y.
Kadang, bahkan ada birokrat yang dengan inisiatifnya sendiri langsung menyosialisasikan si X. Misalnya dengan menyebut bahwa si Y sebagai ayah adalah pemimpin hebat, maka si X pun akan begitu. Istilahnya, "buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya".
Tanpa Lawan
Kondisi pandemi di pilkada ini memang menguntungkan calon yang sudah terkenal. Baik karena memang terkenal atau karena memang masuk dalam lingkaran politik dinasti. Sementara, bakal calon yang benar-benar baru jelas akan kesulitan.
Karena kandidat yang baru akan mengalami kendala dalam sosialisasi dan kampanye, bisa jadi mereka akan mundur. Mereka memilih menyiapkan diri lebih baik untuk lima tahun selanjutnya. Istilahnya, "Ngapain maju di masa pandemi dan potensi kalahnya besar? Lebih baik menyiapkan modal lebih baik untuk maju lima tahun lagi atau maju saat pemilu legislatif".
Kalau mereka pemain baru memilih mundur dan ikut kontestasi di masa depan, maka potensi orang terkenal atau dari politik dinasti akan tak punya lawan. Kalau tak ada lawan, maka akan melawan kotak kosong.
Kalau melawan kotak kosong, jelas potensi menangnya lebih besar. Karena tak ada lawan yang akan "menggembosi". Maka, saya memprediksi, pilkada di masa pandemi akan menguntungkan politik dinasti. Mereka akan melenggang mudah sepertinya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H